Pluralisme Indonesia Seperti Apa?
SATUHARAPAN.COM – Menarik menyimak Pidato Kenegaraan Presiden SBY 15 Agustus 2014 yang lalu. SBY menandaskan bahwa pada awal kemerdekaan dulu para pendiri bangsa berjuang mempertahankan kemerdekaan. Kini generasi penerus bertugas tetap menjaga persatuan dan pluralisme. “Tidak ada gunanya menjadi makin makmur dan modern, tetapi kehilangan yang sangat fundamental dan terbaik dari bangsa kita: Pancasila, kebhinnekaan, semangat persatuan, toleransi, kesantunan, pluralisme, dan kemanusiaan,” kata Presiden.
Presiden SBY juga menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan, tetapi bukan negara agama. Untuk itu, keinginan mendirikan negara agama di Tanah Air harus ditolak. “Ini adalah ujian bagi kebangsaan kita. Indonesia adalah negara berketuhanan, bukan negara agama,” katanya. SBY juga menyatakan, “Indonesia merupakan negara yang cukup disegani di dunia. “Terlepas dari permasalahan dalam negeri, demokrasi, Islam dan modernitas dapat tumbuh bersama,” katanya.
Ada fenomena menarik tentang pernyataan Presiden, khususnya bahwa “pluralisme sangat fundamental bagi bangsa kita dan harus kita jaga”, ternyata tidak mendapat banyak tanggapan dari masyarakat, seolah-olah itu adalah pernyataan yang wajar dan biasa. Ini berbeda dengan ketika MUI tahun 2005 pernah mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme itu “haram”, ternyata menuai sejumlah penentangan, termasuk oleh almarhum Gus Dur. Hal itu dapat dimengerti karena ternyata kata “pluralisme” dipahami secara berbeda-beda. MUI waktu itu agaknya memahami pluralisme dalam arti “semua agama sama saja”. Di Indonesia, tokoh-tokoh pluralis sekalipun, umumnya tentu tidak memahaminya seperti itu. Itu malah lebih merupakan pandangan kejawen (sedaya agama sami kemawon), yang sudah banyak ditinggalkan oleh para pemimpin umat dalam masyarakat modern.
Pluralisme pada awalnya telah banyak dibahas dalam Teologi Agama-agama, sebagaimana yang dikemukakan oleh teolog-teolog Kristiani, seperti John Hick, Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Paul F. Knitter, John Hick, dan masih banyak lagi. Spektrum pandangannya sangat luas, sangat bervariasi. Banyak yang memahami pluralisme merupakan bentuk yang paling liberal daripada eksklusivisme dan inklusivisme.
Dalam pemikiran Islam, pandangan yang mendukung pluralisme telah banyak dielaborasi oleh para cendekiawan dan pemuka Muslim, seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), M. Dawam Rahardjo, Budhy Munawar-Rachman, Ahmad Syafii Maarif, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, dan lain-lain. Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), misalnya, berpandangan bahwa pluralisme ialah “mengakui bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terdapat bukan hanya orang seagama (Islam), tetapi juga pemeluk agama lainnya.” Karena mereka juga berhak untuk eksis, maka yang harus dibangun adalah perasaan saling menghormati. Salah satu dasar yang oleh para pendukung pluralisme paling sering dikutip dari al-Qur’an ialah Q.S. 16:93, yang kalau diterjemahkan ialah “dan kalau Allah menghendaki, niscaya ia jadikan kamu semua satu umat”. Umumnya ini ditafsirkan Allah memang tidak menghendaki semua manusia satu umat.
Apakah pluralisme itu berfungsi terbatas hanya demi menghargai eksistensi dan hak orang untuk beragama?
Pluralisme jelas merupakan fakta sejarah kemunculan agama-agama. Pendiri Kekristenan, yaitu Yesus Kristus (Isa Almasih), meski beragama Yahudi, namun mengalami pembelajaran ketika bergaul dengan iman mereka yang beragama/budaya lain, seperti ketika berjumpa dengan perempuan Kanaan (Matius 15:21-28), atau perwira Romawi (Lukas 7:9). Demikian pula Nabi Muhammad s.a.w. menurut sejarah juga mengalami pembelajaran ketika mencari peneguhan terhadap ayat-ayat yang diterima, itu diterima dengan pergaulan dengan para ahlul kitab (khususnya orang Nasrani dan orang Yahudi, lihat Q.S. 10:94). Meskipun kemudian sejumlah orang Yahudi (berkhianat) menentang beliau, namun tak dapat disangkal bahwa pelbagai bentuk ibadah dalam rukun Islam memiliki kemiripan dengan ibadah Yahudi, karena sumbernya berasal dari Allah yang sama. Karena itu tidak heran di dalam Piagam Madinah pun beliau memberi tempat bagi eksistensi agama-agama lain.
Bahkan para pemimpin agama monoteis yang lebih awal yang terkesan paling eksklusif, yakni Yahudi, juga menghadapi “keterkejutan” ketika menyadari bahwa Allah juga berbicara kepada bangsa/agama lain, seperti kepada Koresh, Raja Babel (Yesaya 44:28) dan Nekho, Firaun Mesir (2 Tawarikh 35:22-23).
Para pejuang kemerdekaan seantero Nusantara (yang beraneka agamanya) juga memiliki kesamaan sejarah, ketika bahu-membahu menggadaikan nyawa untuk melawan penjajah. Fakta sejarah bahwa negara ini didirikan oleh rakyat dari pelbagai suku dan agama memuncak kala menetapkan dasar negara dari naskah Piagam Jakarta, dengan mencoret tujuh kata yang dapat mengonotasikan Indonesia sebagai negara satu agama. Keputusan politik yang menjiwai diresmikannya NKRI, ialah Indonesia bukan negara agama, namun bukan pula negara liberal maupun sekuler murni. Indonesia tidak memberi tempat terhormat bagi ateisme (yang sering mengolok-olok orang beragama), apalagi marxisme, yang antiagama (yang bahkan memandang agama sebagai candu). Indonesia juga bukan negara liberal karena membatasi agama-agama resmi hanyalah agama-agama yang mengakui ketuhanan Yang Maha Esa (Single Godhead). Sesungguhnya “demokrasi, Islam, dan modernitas dapat tumbuh bersama” sebagaimana yang dinyatakan SBY telah tercermin dari pendirian negara kita, yang diawali semangatnya dalam Sumpah Pemuda 1928, dan secara konstitusional dalam dasar negara Pancasila di pembukaan UUD ’45, yang menerima sila “tauhid” (Ketuhanan Yang Maha Esa), yang selaras ruh Agama islam, sekaligus empat sila lainnya (yang memandang rakyat secara egaliter/demokratis), serta kemudian semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (dalam lambang negara RI, Garuda Pancasila dalam warna-warna yang asli, tidak diblok), yang menegaskan pengakuan terhadap pluralisme sebagai keniscayaan negara modern
Pluralisme yang integral ini memberi ruang bagi rakyat Indonesia yang religius untuk hidup berdampingan dengan damai dan memberi tempat bagi dialog yang bertujuan mendalami, mengembangkan dan memperkuat agama masing-masing secara original (tulus, tidak munafik/dipaksakan). Dengan bertumbuhnya iklim demokrasi dan kultur kesantunan, dialog merupakan hal yang wajar sepanjang bersifat sharing, berbagi info/pendapat, tidak harus saling menerima, dan tidak boleh menghina yang lain, apalagi memaksakan pendapat. Kalaupun muncul situasi ada kecenderungan mengintimidasi, dapat berlaku tameng dalil yang selaras dengan hak asasi: “agamamu agamamu, agamaku agamaku”.
Dalam sejumlah penelitian, maupun dialog yang tulus dan bersahabat dalam forum wacana lintas-iman, ditemukan bahwa terdapat sangat banyak kesalahpahaman dan prasangka karena terbatasnya pengetahuan tentang agama lain, karena pengetahuan tentang agama lain itu hanya didapatkan dari yang bukan pemeluknya, sehingga sering timbul bias/kekeliruan. Sebelum iklim demokrasi ini menguat, dialog dulu sempat dicurigai membahayakan karena bermaksud menyerang agama yang mendengarkan. Namun ketika dialog itu dilakukan dengan tulus hati, santun, dan rendah hati, kecurigaan semacam itu pun luntur, dan toleransi serta sikap saling menghormati dapat dilakukan dengan lebih tulus.
Seiring dengan menguatnya iklim demokrasi dan kedalaman iman seseorang, sebenarnya pluralisme yang memberi ruang bagi dialog seperti ini malah merupakan benih yang baik, bukan saja bagi sikap saling menghormati, namun juga untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik (luas dan dalam), perdamaian yang tulus, dan kerja sama lebih intensif sebagai saudara sebangsa.
Hananto Kusumo adalah pendeta, dosen, dan pegiat lintas iman
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...