Pohon Gofasa Kayunya Unggulan Sulawesi
SATUHARAPAN.COM – Tahukah Anda Kapal phinisi, kapal layar tradisional yang berasal dari suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan. Dahulu kapal ini digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau. Kini, phinisi sebagai kapal barang berubah fungsi menjadi kapal pesiar komersial maupun ekspedisi.
Kapal phinisi ini, sebagian besar terbuat dari kayu yang berasal dari pohon khas sulawesi yaitu gofasa atau bitti. Pohon ini juga dikenal dengan nama lokal sassuwar, gofasa, bitum, gupasa, dan bana.
Gofasa atau Kayu Bitti mengutip dari Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Banjar, mempunyai nama latin Vitex Cofassus. Berasal dari New Guinea dan kepulauan Pasifik Barat Daya yang tumbuh subur di Indonesia. Pohonnya memiliki kayu yang strukturnya menyerupai kayu jati, kayunya keras dan biasanya digunakan dalam konstruksi, di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
A Martawijaya, dan kawan-kawan (1981), dalam bukunya berjudul Atlas kayu Indonesia. Vol.I, Penerbit Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor, menyebutkan bahwa kegunaan kayu gofasa selain untuk kayu pertukangan, juga untuk industri perkapalan dan perahu tradisional.
Pohon ini berukuran sedang hingga besar dan dapat mencapai tinggi hingga 40 meter. Batangnya biasanya tanpa banir dan diameternya dapat mencapai 130 cm, beralur dalam dan jelas, kayunya padat dan berwarna kepucatan. Kayunya tergolong sedang hingga berat, kuat, tahan lama dan tidak mengandung silika. Kayu basah beraroma seperti kulit.
Pohon gofasa atau Bitti mengutip dari academia.edu, merupakan tumbuhan endemik khas Sulawesi dan kayunya merupakan kayu unggulan Sulawesi Selatan.
Pemerian Botani Pohon Gofasa
Ciri umum pohon gofasa atau pohon bitti , mengutip dari pngplants.org, termasuk dalam famili Verbenaceae, genus Vitex dan spesies Vitex cofassus Reinw ex Blume. Pohon ini berukuran sedang hingga besar dan dapat mencapai tinggi hingga 40 meter. Batangnya biasanya tanpa banir dan diameternya dapat mencapai 130 cm, beralur dalam dan jelas, kayunya padat dan berwarna kepucatan. Kayunya tergolong sedang hingga berat, kuat, tahan lama dan tidak mengandung silika dan kayu basah beraroma seperti kulit .
Daun bersilangan dengan atau tanpa bulu halus pada sisi bawahnya.
Susunan bunga terminal, merupakan bunga berkelamin ganda, di mana helai kelopaknya bersatu pada bagian dasar membentuk mangkuk kecil, sedang helai mahkotanya bersatu pada bagian dasar yang bercuping 5 tidak teratur. Mahkota putih keunguan, terdapat tangkai dan kepala sari di dalam rongga mahkota, bakal buah di atas dasar bunga (superior).
Buah berdaging, bulat hingga lonjong, dengan diameter 5-12 mm yang saat masak berwarna ungu tua. Terdapat 1 – 4 biji dalam setiap buahnya.
Pohon gofasa, menggugurkan daunnya pada musim kemarau dan musim berbuah sangat tergantung pada tempat tumbuhnya. Di Sulawesi Selatan, musim berbunga biasanya terjadi pada musim hujan dan berbuah antara bulan Agustus sampai November. Secara umum jenis ini hampir selalu berbunga setiap tahun setelah berumur lima tahun dengan penyerbukan dibantu oleh serangga, kemungkinan besar lebah.
Jenis pohon ini termasuk mudah tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi dan termasuk tanaman yang mempunyai kecepatan pertumbuhan sedang.
Menurut Andriyani Prasetyawati, (2013) dalam bukunya berjudul, Eksplorasi Benih gofasa atau Bitti di Sulawesi Selatan, bahwa jenis pohon gofasa ini tahan terhadap kebakaran, bila terbakar akan segera bertunas kembali. Oleh karena itu jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai salah satu jenis andalan yang unggul .
Menurut Gusmiaty, dan kawan-kawan, (2011), dalam laporan penelitiannya berjudul Selekisi Primer untuk Analisis, Keragaman Genetik Jenis Bitti (Vitex Cofassus), Jurnal Perennial 8(1):25-29, menyebutkan bahwa pohon gofasa merupakan salah satu jenis pohon terpenting di Sulawesi.
Pohon Gofasa atau Bitti, mengutip dari uin-alauddin.ac.id, memiliki nama ilmiah adalah Vitex cofassus Reinw. ex Blume, dan memiliki nama tersendiri di masing-masing daerah. Namun beberapa orang lokal sering menyebut sebagai kayu biti,bitum, bana dan sassuwar. Di Jawa dikenal dengan nama Gandaria atau Jatake, suku Dayak mengenalnya dengan nama Barania sedangkan di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dikenal dengan nama New Guinea Teak atau Jati Nugini. Terkhusus di daerah Sulawesi Selatan dikenal dengan nama Kalawasa, Rappo-Rappo Kebo, Buwa Malawe, Katondeng dan Aju Bitti.
Penyebaran dan tempat tumbuh Kayu bitti tumbuh tersebar secara alami di Sulawesi, Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Bismarck, dan Pulau Solomon. Habitat pohon ini adalah di hutan dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl.
Pohon dapat tumbuh baik pada tanah berkapur dengan tekstur mulai lempung hingga pasir, dan dapat dijumpai di daerah dengan musim basah dan kering .
Manfaat dan Konservasi Pohon Gofasa
Pohon gofasa, mengutip dari untad.ac.id, merupakan salah satu tumbuhan yang ada di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal pohon gofasa memiliki nilai ekonomi cukup tinggi jika dikembangkan.
Seiring semakin berkurangnya jati (Tectona grandis) dan harganya di pasaran yang semakin mahal, maka masyarakat mulai mencari alternatif lain yang mudah dijangkau dan gampang diperoleh. Karena kayu gofasa memiliki sifat yang mirip dengan jati yaitu memiliki daya tahan yang kuat, lentur dan tahan terhadap rayap, sehingga kayu gofasa diperoleh sebagai alternatif yang tepat.
Dikalangan masyarakat luas kayu gofasa dijadikan sebagai bahan baku untuk konstruksi rumah, baik berupa papan maupun balok atau kusen, digunakan dalam industri pembuatan kapal dan perahu, karena memiliki daya tahan di dalam air.
Sedangkan untuk industri meubel seperti pembuatan lemari, meja, kursi dan lain sebagainya, kayu gofasa dipilih karena memiliki tekstur yang baik dan tahan terhadap rayap. Tidak jarang pula kayu ini dibuat tangga, jembatan, ukiran, bahkan di Kepulauan Solomon gofasa di gunakan sebagai bahan baku untuk membuat gendang yang besar yang mereka sebut gundu. Selain itu kayu gofasa juga merupakan komuditas ekspor utama dari Sulawesi, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dengan tujuan ke Jepang.
Penyebaran pohon gofasa atau kayu Bitti di Sulawesi Selatan, mengutip dari academia.edu, terdapat di beberapa Kabupaten Pangkep, Maros, Pinrang, Bantaeng, Enrekang, Bone, Bulukumba, Sidrap dan Selayar.
Pemanfaatan kayu gufasa, mengutip dari proseanet.org, biasa dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi rumah, kapal dan perkakas rumah tangga seperti mangkok dan piring. Ekspor kayu dalam jumlah cukup besar berasal dari Sulawesi, Papua Nugini dan Pulau Solomon, terutama ke Jepang.
Penelitian Edi Kurniawan yang berjudul Teknik Pembibitan Gofasa (Vitex cofassus Reinw) dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar, menyebutkan bahwa kayu Gofasa sebagai kayu industri perkapalan dan perahu tradisional banyak diminati masyarakat di Sulawesi.
Menurut Seran et al, (1997), gofasa merupakan salah satu spesies lokal (native species) Sulawesi. Wilayah penyebaran jenis ini meliputi negara Malaysia, Pilipina dan Indonesia. Di Indonesia jenis ini banyak terdapat di Sulawesi terutama pulau-pulau bagian selatan sampai timur pulau Buru (Maluku).
Kebutuhan kayu gofasa, mengutip dari R Supriadi (2001), dalam bukunya berjudul Perbaikan sistem tata niaga kayu produk hutan rakyat, (Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan di Makassar, Penerbit Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, menyebutkan bahwa untuk pasar lokal per tahun mencapai 647.902 m3. Produksi hutan rakyat hanya mencapai 8.316,53 m3 per tahun.
W Isnan, (2008), dalam bukunya berjudul Kayu Bitti (Vitex cofassus Reinw) bahan baku utama pembuatan kapal phinisi, Penerbit Wana Tropika Volume 3 (1), 16-17, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor, menyebutkan bahwa untuk membuat sebuah perahu phinisi dengan kapasitas 300 ton dibutuhkan tidak kurang dari 150 m3 kayu gofasa, ditambah dengan jenis kayu lain 20 m3.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa pohon gofasa yang ada di hutan alam populasinya semakin berkurang. Kabupaten Bulukumba sebagai sentra utama pengembangan tanaman gofasa di Sulawesi Selatan, sebagian besar hanya memanfaatkan anakan alam, karena belum diketahuinya teknik pembibitan gofasa.
Sedangkan anakan alam tanaman gofasa sangat minim, sehingga perlu digalakkan pembudidayaan yang lebih intensif. Salah satu kegiatan yang mendorong keberhasilan budidaya jenis ini adalah ketersediaan bibit yang bermutu. Yaitu melaui teknik pembibitan gofasa dimulai dari pengadaan benih, perkecambahan hingga pembibitan di persemaian.
Kayu gofasa selain digunakan konstruksi rumah, kapal dan perkakas rumah tangga seperti mangkok dan piring. Ternyata bermanfaat untuk pengobatan medis .dan ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Nurani dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar, dalam skripsinya yang berjudul Identifikasi dan karakterisasi senyawa bioaktif antikanker dari ekstrak etanol kulit batang kayu gofasa atau Bitti (Vitex cofassus).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi senyawa bioaktif antikanker yang terdapat dalam ekstrak etanol kulit batang kayu Bitti (Vitex cofassus) dan untuk menentukan nilai bioaktifitas. Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi, fraksinasi, identifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan uji fitokimia untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder serta karakterisasi dengan FTIR. Hasil penelitian menunjukkan, senyawa bioaktif antikanker yang terdapat dalam ekstrak etanol kulit batang kayu Bitti (Vitex cofassus) adalah senyawa metabolit sekunder jenis flavonoid. Perlu dilakukan uji kandungan senyawa bioaktif semua komponen dari tumbuhan Kayu Bitti (Vitex cofassus) yang meliputi daun, buah dan akar.
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...