Politik Indonesia Masih Beriorientasi Feodalisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kultur politik di Indonesia masih mewarisi budaya feodalisme. Karena penjajah Belanda menekankan gaya hidup mewa,h maka politisi yang ada sekarang seakan mencontohnya.
Hal ini dikatakan Hajriyanto Tohari dalam Dialog Pilar Negara, bertema Mengatasi Apatisme Publik Terhadap Partai Politik yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) di Gedung Nusantara IV, Senin (27/5).
“Kultur feodalisme masih kental pada bangsa kita, karena sistem politik kita masih tunduk kepada partai politik yang mengandalkan feodalisme. Mental feodalisme ini mengakibatkan semangat korupsi, karena feodalisme mengandalkan peningkatan gaya hidup mewah.” ujar Hajriyanto.
“Mental feodalisme mengakibatkan korupsi. Oleh karena itu, kalau mau masuk politik dengan tujuan untuk membayar hutang, lebih baik jangan masuk partai,” tutur pria kelahiran Solo tahun 1960 ini.
Akibat kultur feodalisme ini tampak dalam pelaksanaan politik Indonesia. Terlihat dari kasus-kasus korupsi yang menggunung di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan setiap hari menjadi tajuk utama di sejumlah media massa di Indonesia. Hajriyanto menambahkan bahwa masyarakat menjadi semakin apatis, karena korupsi merupakan implikasi dari lahirnya partai politik, dan memang seperti itulah kegiatan berpolitik yang penuh kepentingan.
Solusi yang ditawarkan Hajriyanto antara lain pendanaan partai harus berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di kemudian hari, dan mengembangkan budaya berpolitik yang santun.
“Kalau ada usulan tentang pendanaan partai, tidak dari orang-orang atau donator tertentu, tetapi kita harus menegakkan kepala dan melihat fakta bahwa negara harus melakukan pembiayaan partai politik dari APBN. Sebab, kalau ditentukan dari orang-orang atau pengusaha tertentu, maka kebijakan mereka akan terlalu menonjol di partai,” ujar Hajriyanto.
“Kalau melihat contoh pada PKI (Partai Komunis Indonesia). Pasrtai ini melakukan strategi kebudayaan dan propaganda yang berhasil. PKI mampu menyatukan masyarakat dalam peristiwa-peristiwa budaya dan mengumpulkan massa di tempat tertentu dapat berhasil,” kata dia.
Apabila zaman dahulu partai seperti PKI berhasil mengumpulkan massa dengan cara yang cepat, maka zaman sekarang seharusnya partai politik membuatnya lebih mudah.
“Jauh lebih gampang, karena budaya dalam politik tidak hanya tentang masalah tari-tarian atau aset budaya, melainkan kepatutan dan kesantunan dalam menjalankan amanat undang-undang. Contohnya adalah saat ini sudah ada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi mengapa kejahatan korupsi dan pencucian uang masih ada, bahkan semakin canggih,” kata Hajriyanto.
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...