Politik itu Kearifan
SATUHARAPAN.COM - Pilkada serentak yang dilaksanakan tanggal 9 Desember 2015 baru selesai. Perhelatan politik ini diharapkan akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dalam Kabupaten/Kota sehingga rakyat Indonesia boleh hidup layak dan manusiawi.
Tetapi harapan terhadap perhelatan politik seperti itu tidak jarang berakhir dengan pesimisme. Karena semua yang ducapkan hanya tinggal dalam bentuk janji politik saat-saat kampanye saja. Selesai kampanye untuk memikat hati pemilih selesai juga janji politik itu. Ia tidak mewujud dalam praksis pelayanan publik sang pemenang pemilihan Bupati/Walikota/Gubernur. Kemenangannya tidak lebih hanyalah mengalahkan lawan politiknya.
Penghayatan politik seperti ini mencerminkan arti politik hanya sekedar perebutan kekuasaan untuk menguasai orang lain atau rakyat. Itulah sebabnya ketika pemenang menjalankan roda pemerintahannya tidak jarang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, para pemilihnya itu. Padahal rakyatlah yang seharusnya menjadi tua atas dia dan bukan sebaliknya. Sebab dia dipilih untuk melayani rakyat atau pemilihnya itu.
Ini adalah ironi politik demokrasi kita di Indonesia setelah kemerdekaan. Kita telah merdeka dari penjajahan bangsa lain tetapi sesungguhnya kita belum merdeka sepenuhnya sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan dalam kehidupan polis/kota di mana kita hidup. Inilah tragedi politik demokrasi kita kita di Indonesia.
Kita berharap agar pilkada serentak di sejumlah Kabupaten/Kota di Indonesia kali ini tidak akan berakhir dengan tragedi politik seperti disebutkan di atas. Kita berharap agar pilkada serentak itu akan menghasilkan politik kearifan hidup bersama dalam kehidupan polis/kota di mana kita hidup bersama sebagai sesama warga kota/kabupaten dalam negara republik Indonesia.
Tentu saja harapan seperti ini hanya mungkin mewujud dalam kenyataan apabila politik itu tidak dimaknai atau diartikan hanya sekedar perebutan kekuasaan antara kelompok masyarakat atau antar para pendukung calon. Sebaliknya politik itu sejatinya menjadi kesadaran arif untuk menata-layani kehidupan polis/kota/kabupaten sehingga selalu berwajah humanis dan ekologis.
Dalam pengertian politik seperti ini “kemenangan sejati” seorang calon Bupati/Walikota/Gubernur ialah kesanggupan hatinya untuk bisa melayani secara tulus mereka yang tidak memilihnya seperti para pemilihnya ketika menatalayani kehidupan polis/kota/kabupaten. Ia tidak hanya melayani konstutuennya saja. Dan para pemilih sendiri akan menjatuhkan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya, sesuai dengan cahaya hatinya.
Pendek kata: pemilih akan memilih dengan hati yang dicerahkan politik sebagai kearifan hidup dan bukan memperjuangkan kelompoknya. Sekiranya itulah yang akan terjadi sebagai hasil dari pilkada serentak di Indonesia maka bukan mustahil Indonesia yang kaya dengan sumber daya alamnya akan dinikmati dengan baik oleh seluruh warga negara Indonesia. Juga warga kota/kabupaten/provinsi pun akan selalu tumbuh sebagai warga Kota/Kabupaten/provinsi yang mandiri, kraetif, dan inovatif. Mereka akan mengembangkan diri tanpa rasa takut. Sebaliknya, dengan penuh rasa syukur dan kegembiraan mengaktualisir diri sebagai warga kota/kabupaten yang humanis dan ekologis.
Kalau tokh ada perbedaan visi dan misi maka perbedaan itu tidak akan diatasi dengan kekerasan melainkan dengan dialog dan negosiasi. Dalam dialog dan negosiasi tidak dikenal prinsip kalah-menang (win-loss-solution), juga bukan solusi menang-menang (win-win solution), melainkan tiba pada alternatif ketiga dalam ungkapan Stephen R. Covey dalam bukunya: The 3rd Alternative (2011). Seorang Bupati/Walikota yang memiliki kearifan hati politis seperti ini tidak akan jatuh ke dalam bahaya narsis diri dan kelompok, bahaya hanya cinta diri dan kelompoknya. Sebab bagi dia politik adalah kearifan bukan strategi merebut kekuasaan atas orang lain.
Kami berpendapat inilah yang seharusnya menjadi mimpi setiap calon Bupati/Walikota/Gubernur. Sebab mimpi ini akan memampukan yang bersangkutan untuk mengelola pemerintahan dengan tidak meniadakan mereka yang tidak memilihnya. Sebaliknya ia akan merangkul mereka. Sebab boleh jadi mereka yang tidak memilihnya itu adalah seorang kreatif, inovatif dan profesional yang membuat kepemipinannya menjadi kepemimpinan yang efektif untuk mensejahterakan warga polis/kota/kabupaten yang dipimpinnya.
Itulah harapan kita dalam pilkada yang baru berlangsung dan ke depan. Juga para pemilihnya tidak akan mengumpatnya sebagai “penghianat” karena merangkul mereka yang tidak mendukung dan tidak memilih calon mereka. Sebaliknya, mereka akan bersyukur karena mampu merangkul saudara-saudari mereka yang berbakat, kreatif dan inovatif dalam memajukan Kota/Kabupaten selama kepemimpinan calon mereka. Jika hal itu yang terjadi maka “kesejahteraan” dan “kedamaian” bukan sekedar slogan-retoris melainkan praksis kehidupan seharian warga negara Indonesia!
Penulis adalah rohaniawan dan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Agama Kristen Maluku Utara
Editor : Trisno S Sutanto
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...