Politik Pencitraan
Dalam bukunya, Inspirasi Sabda Masa Biasa Tahun ABC, Bernard Raho, SVD, mengisahkan tentang seorang hakim yang terkenal karena kejujurannya. Ia senantiasa menolak sogokan dari orang-orang yang ingin dimenangkan perkaranya. Suatu hari, ia dituduh dengan berbagai macam hal yang tidak pernah dilakukannya. Namun, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan segala tuduhan itu.
Karena itu, orang pun bertanya kepadanya, ”Mengapa Anda tidak membalas tuduhan-tuduhan itu?” Sang Hakim menjawab, ”Di kampung saya hiduplah seorang janda dengan seekor anjingnya. Setiap kali melihat bulan memancarkan sinarnya, anjing itu keluar rumah dan mulai menggonggong.” Kemudian, ia mengalihkan pembicaraannya kepada hal-hal lain.
Merasa tak puas dengan jawaban Sang Hakim, orang itu bertanya lagi, ”Bagaimana dengan anjing dan bulan itu?” Dengan tenang hakim itu menjawab, ”Oh… bulan itu tetap bersinar, sekalipun anjing itu menggonggong sepanjang malam.”
Pesannya jelas, Bulan tetap bersinar sekalipun ada yang tidak suka dengan terang yang dipancarkannya. Sang Hakim dalam cerita tadi tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia ingin tetap bercahaya sekalipun ada orang yang tidak menyukainya.
Nah, persoalan umat Israel di masa Yesaya ialah bersinar saja tidak! Allah berfirman: ”Mereka menyembah Aku setiap hari, dan ingin mengetahui kehendak-Ku, seolah-olah mereka melakukan yang baik, dan setia kepada hukum-Ku. Mereka berkata bahwa mereka senang menyembah Aku dan menginginkan hukum-Ku yang adil." (Yes. 58:2, BIMK).
Mereka melakukan apa yang sekarang dikenal di negeri kita sebagai politik pencitraan. Kemasannya bagus dan tampak kudus; namun isinya buruk dan pasti tidak kudus. Aneh bukan, di hadapan Allah, Sang Mahatahu, mereka menayangkan politik pencitraan?
Rabu
Kesempatan
”Hidup semakin sulit. Apa lagi hidup sebagai orang Kristen di Indonesia. Bayangkan saja, betapa sulitnya mendirikan bangunan gereja di negeri ini. Padahal, kita kan juga pemilik sah negeri ini,” jelas seseorang kepada saya suatu kali. Tak ada yang salah dalam kalimat-kalimat yang keluar dari bibir tua itu.
”Kita orang-orang Kristen,” lanjutnya, “kayaknya, kok semakin ditekan saja. Alasannya selalu kristenisasi. Kalau semuanya nggak boleh, apa artinya hidup di negeri yang katanya berdasar Pancasila ini?” Wajahnya sendu, memancarkan ketidakmengertian mengenai kondisi negeri yang dicintai.
Kalimat-kalimat yang mengalir deras dari mulut Bapak tua itu memang sukar dibantah. Semuanya berdasarkan fakta. Meski pahit, agaknya terselip keinginan untuk merasakan kebebasan hidup beragama di masa reformasi ini. Namun, apa mau dikata, kondisi memang belum baik juga. Bahkan, petinggi negeri ini dengan tegas berkata, “Semuanya harus ada aturannya, begitu pula dengan pendirian rumah ibadah.”
Hidup sebagai Kristen memang tidak mudah. Tantangan selalu ada, bahkan setua umur kekristenan itu sendiri. Semasa hidup-Nya, Yesus pun menerima banyak tekanan. Dan menarik untuk disimak, Sang Guru telah memberi tahu para murid-Nya bahwa tantangan akan senantiasa setia mengiringi perjalanan kekristenan di masa datang. Tapi, Yesus menegaskan bahwa semua itu merupakan kesempatan untuk bersaksi (Luk 21:13).
Tantangan adalah kesempatan. Kesempatan untuk menjelaskan mengapa kita gigih dalam kepercayaan kita. Dan kepada setiap orang, yang memahami tantangan sebagai kesempatan inilah hidup akan dikaruniakan.
So, bertahanlah!
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...