Politik Perang Dingin dan Aktivitas Gereja
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Arsip Dewan Gereja Dunia (WCC) di Jenewa menyediakan bahan penelitian dan ruang untuk publik yang bisa diskusi dan riset tentang “gerakan ekumenis dan politik Perang Dingin”.
Pada diskusi panel (4/9) kemarin, area konferensi yang baru, “Espace Archives”, lima pakar dari Fakultas Teologi Universitas Helsinki dan Central European University (Budapest) melakukan survei berbagai topik yang berkaitan dengan lembaga-lembaga keagamaan selama Perang Dingin.
“Kami tidak mengabaikan karakter teologis dalam karya ekumenis,” kata Profesor Aila Lauha, Direktur Penelitian tentang Gereja dan Perang Dingin dari Universitas Helsinki. “Namun, kami juga tertarik dalam konteks politik. Kami menganalisis aktivitas gereja dari aspek historis mereka, serta dampak yang timbul dari kegiatan mereka terhadap masyarakat dan individu.”
Dalam sepuluh tahun terakhir, lebih dari 30 tesis dan disertasi dalam teologi telah ditulis di Universitas Helsinki berkaitan topik terkait proyek penelitian tersebut.
Matti Peiponen, mantan staf WCC, telah menerbitkan disertasi, Aksi Ekumenis dalam Politik Dunia: Penciptaan Komisi Gereja-Gereja di International Affairs (CCIA), 1945-1949. Sebagai anggota panel, ia menggambarkan betapa realitas Perang Dingin memengaruhi tahun-tahun awal CCIA. Namun, ia menyimpulkan bahwa karya tersebut mencerminkan cita-cita dan komitmen yang telah hadir dalam gerakan ekumene berpuluh tahun sebelum era Perang Dingin.
Juha Meriläinen menggambarkan pekerjaan rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II yang dilakukan oleh pelaku ekumenis termasuk WCC dan Lutheran World Federation (LWF). Dalam cara yang signifikan, kata dia, mereka adalah pendahulu Marshall Plan. Walaupun, harus menghadapi ancaman komunis, mereka mendapatkan sebagian besar dana dari gereja-gereja di Amerika Serikat.
Peiponen dan Meriläinen saat ini berkolaborasi menulis buku tentang agama di tahun-tahun awal Perang Dingin.
Antti Laine, seorang kandidat doktor di Universitas Helsinki, berbicara tentang penelitiannya mengenai Program WCC untuk Memerangi Rasisme (PCR) dan “isu utamanya rasisme, terutama dalam sistem apartheid Afrika Selatan. Tesisnya berfokus pada cara gereja-gereja di Finlandia dan Inggris menanggapi PCR selama 1970-an dan 1980-an.
Arpad Welker dari Budapest, satu-satunya panelis non -Finlandia, menjelaskan usahanya untuk mengumpulkan biodata Zoltán Káldy (1919-1987), pemimpin Gereja Lutheran Hungaria, anggota pendiri Konferensi Perdamaian Kristen dan, akhirnya, presiden LWF. Beberapa tahun terakhir, terungkap bahwa pada 1958-1971 Káldy melaporkan kegiatannya secara teratur untuk Lembaga Keamanan Negara Hungaria. Fakta baru ini telah mengakibatkan kontroversi dan konflik pahit dalam gereja Hungaria.
Welker mempertanyakan apakah Káldy adalah “Mata-mata komunis atau pemimpin gereja karismatik?”Sulit untuk menemukan jawaban. Sebab, orang-orang yang dekat dengannya menghancurkan dokumen yang mereka digambarkan sebagai “terlalu rahasia” bagi publik.
Saat membaca 1.200 halaman laporan dalam arsip Lembaga Keamanan Negara Hungaria, Welker menyimpulkan Káldy mungkin telah menjelaskan dirinya kepada pihak berwenang “kebijakan pribadinya adalah terbuka dengan semua orang”, tetapi “ia segera menyadari dirinya diperalat dan terjebak pada waktu yang sama.”
Para pakar pada panel tersebut mengungkapkan penghargaan mereka untuk arsip WCC dan LWF. Mereka berutang pada keberadaan arsip tersebut. Dan, mereka menawarkan terima kasih mereka kepada petugas arsip dan staf terkait.
Petugas arsip WCC, Hans von Ruette menyatakan harapannya bahwa diskusi panel ini dapat “membantu menciptakan kebiasaan yang akan menjadi tradisi acara-acara publik” di Arsip Espace, ”suatu ruang kompak dan cocok untuk pekerjaan kami.” (oikumene.org)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...