Loading...
ANALISIS
Penulis: Selu Margaretha Kushendrawati 16:00 WIB | Selasa, 14 April 2015

Politik Tindakan Menurut Hannah Arendt

Hannah Arendt tahun 1969. (Foto: thenation.com/AP)

SATUHARAPAN.COM - Hannah Arendt, filsuf perempuan berdarah Yahudi lahir di Hannover, Jerman 14 Oktober 1906 dan meninggal di New York 4 Desember 1975. Sebagai seorang Yahudi, sejak kecil ia beserta keluarganya selalu dibayang- bayangi target genocide Nazi.

Arendt dijuluki sebagai pemikir dan penulis yang kontroversial, complicated dalam kancah filsafat politik dunia, walaupun banyak tulisannya yang kurang sistematik. Membaca tulisan- tulisannya tampak jelas Arendt tidak saja membatasi diri dalam filsafat kontemporer tetapi ia juga jauh menembus pemikiran- pemikran sebelumnya bahkan sampai pada filsafat Yunani kuno.

Arendt terinspirasi pemikir- pemikir seperti Aristoteles, Agustinus, Kant, Nietzsche, Jaspers serta para eksstensialis lainnya, dan tentu Heidegger sang pacar. Semacam kebiasaan Arendt selalu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian ia berusaha menjawabnya. Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak Yunani kuno oleh Socrates yang kemudian metode ini diabadikan oleh Plato dalam bentuk karya- karyanya.

Posisi filsafat politik Hannah Arendt ini amat strategis untuk dimanfaatkan sebagai refleksi kehidupan politik kongkrit. Menurut Hannah Arendt, manusia politik adalah manusia tindakan. Berbicara, bertindak dalam sebuah ruang publik yang pluralistik, di mana seluruh anggota berada pada sebuah tataran equality, setara. Namun tentunya manusia tidak akan bisa bertindak apabila ia tidak bebas.

Maka dari itu Arendt mengatakan bahwa makna politik sebenarnya adalah kebebasan. Bebas dari pengendalian mekanisme alamiah, bebas dari dominasi hirarkis, lalu masuk ke dalam ruang publik sebagai oang yang otentik, otonom. Jadi, berpolitik adalah tindakan politis yang dilakukan dalam ruang publik.

Baginya, sebuah refleksi pemikiran tanpa dimensi tindakan pastilah sia-sia, namun tindakan tanpa melibatkan pemikiran terlebih dahulu juga merupakan hal yang naif. Memang, kita kenal Hannah Arendt ini sangat Aristotelian, maka baginya tindakan mendapat porsi lebih daripada refleksi pemikiran yang soliter ala Dunia Idealnya Plato. 

Arendt juga berpendapat tentang teologi. Dalam tradisi Kristen, individu didorong untuk hidup soliter dalam meraih telos arête religiositasnya. Dalam agama-agama monoteisme manusia adalah ciptaan Tuhan melalui cara penciptaan yang sama. Manusia adalah Imago Dei, manusia adalah image, citra Allah.

Arendt berkilah, padahal politik adalah masalah bagaimana cara mengorganisir orang-orang yang berada dalam ruang publik dimana secara nota bene jelas- jelas setiap orang unik dan berbeda- beda. Justru politik harusnya menghubungkan sekaligus memisahkan antar manusia, layaknya Dewa Janus yang memiliki dua muka di kepalanya, di dalam integrasi terdapat konflik dan begitu pula sebaliknya.

Dalam hal ini Arendt menolak manusia adalah mahkluk sosial karena dalam arti itu manusia semata-mata diorganisasikan dalam asosiasi alamiah untuk memenuhi kebutuhan diri. Ia juga tidak menyetujui konsep ruang sosial yang menurutnya menyamarkan batas- batas antara ruang privat dan ruang publik.

Ruang sosial memang bersifat publik, namun sifat- sifat pengaturannya tetap bersifat privat. Ruang sosial sebenarnya merupakan manifestasi rumah tangga yang berukuran besar dan berskala nasional dan direalisasikan sesuai sistem pemerintahan birokratis, yang dalam politik disebut bangsa.

Berbicara politik bukan sekadar mengumbar persuasifitas dihadapan orang lain, melainkan juga mengakui keberadaan struktur konstitusional. Mengapa? Karena konstitusi adalah merupakan ruang antara yang menjembatani juga memisahkan semua orang.

Dalam pemerintahan yang demokratis, konstitusi merupakan cara yang baik untuk pembuka komunikasi dan juga pembatas bagi hak- hak asasi setiap warga. Hannah Arendt selaku seorang filsuf kontemporer, menempatkan politik sebagai wadah dan wacana perjuangan untuk mengadakan perlawanan terhadap determinasi keniscayaan. Mengacu Slavoj Zizek, politik adalah metode untuk mengintervensi ketidakmungkinan.

Hal ini disebabkan dasar hipotesa politik bahwa politik dimulai dari membayangkan kemungkinan-kemunginan tentang hal-hal yang tidak mungkin. Sedangkan Alan Badiou mengatakan bahwa politik tidak lain merupakan perlawanan terhadap hal-hal yang mustahil, yang unpredictable.

Hannah Arendt lebih lanjut menegaskan bahwa proses penyelengaraan kekuasaan seperti birokasi, legislasi dan administrasi pemerintahan perlu harus disiapkan sebagai kondisi situasi prapolitik. Sedangkan bentuk-bentuk seperti penguasaan, kontrol, pengaturan itu berada di luar kategori politis.

Argumen lainnya, Arendt menyatakan juga tentang pentingnya politik perwakilan dan federasi. Ia menyadari demokrasi ala polis Yunani kuno tidak mungkin diterapkan dalam era modern saat ini. Di samping Arendt sebenarnya juga tidak sepenuhnya yakin dengan sistem demokrasi perwakilan karena seringkali tidak menghasilkan kondusifitas bagi keotentikan politik warga.

Namun Arendt juga tidak memberikan alternative ideal sebagai jawaban atas problematik semacam itu, mungkin karena menurutnya yang bersifat partikular tentu tidak sama.

Disinilah kita dibawa ke ranah teori tindakan Hannah Arendt dalam pemikiran politiknya. Argumen Hannah Arendt tentang tindakan, kebebasan dan pluralitas: Tindakan adalah satu- satunya aktivitas manusia yang berhubungan langsung tanpa diperantarai oleh sesuatu atau benda yang sesuai dengan kondisi pluralitas manusia. Pluralitas secara khusus merupakan sebuah keniscayaan -yang bukan hanya conditio sine qua non, namun juga conditio per quam- bagi semua kehidupan politik.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home