Politikus Partai Demokrat Diperiksa KPK Terkait Suap DPRD Sumut
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari Rabu (18/11) ini menjadwalkan pemeriksaan terhadap anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrat, Rooslynda Marpaung sebagai saksi dalam kasus dugaan suap kepada Anggota DPRD Sumatra Utara (Sumut) periode 2009-2014 dan 2014-2019.
"Ya, yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Gatot Pujo Nugroho (GPN)," kata Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, saat dikonfirmasi di Jakarta, hari Rabu (18/11).
Rooslynda sendiri telah tiba di Gedung KPK sekitar pukul 10:35 WIB. Namun saat ditanya awak media dia memilih tutup mulut dan langsung memasuki gedung KPK.
Rooslynda sempat menjabat sebagai anggota DPRD Sumut periode 2009-2014.
Sebelumnya KPK hari Selasa (10/11) menahan Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Ajib Shah terkait dugaan tindak pidana suap dalam pengesahan APBD 2010-2014, persetujuan Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Sumut 2012-2014, dan penolakan penggunaan hak interpelasi 2015.
"Sama penyidik saja. Jawaban, jawaban, sama penyidik saja," kata Ajib, yang mengenakan rompi tahanan warna oranye saat keluar dari Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Pelaksana harian (Plh) Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati mengatakan, Ajib ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Salemba, Jakarta Pusat, selama 20 hari pertama.
KPK juga melakukan penahanan terhadap tiga mantan pimpinan DPRD Sumut 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut 2014-2019, yaitu Saleh Bangun (SB), Chaidir Ritonga (CHR), Ajib Shah (AJS), Sigit Pramono Asri (SPA).
"Penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini di beberapa Rumah Tahanan berbeda. Tersangka SB ditahan di Rutan Polres Jakarta Selatan, CHR ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, AJS ditahan di Rutan Kelas I Salemba Jakarta Pusat dan SPA di Rutan Polres Jakarta Pusat," kata Yuyuk.
Ajib mengatakan, ia menerima penahanannya. "Ini kewenangan penyidik, kita kooperatif," ujarnya.
Namun, Ajib enggan berkomentar mengenai pembagian uang kepada anggota lain DPRD Sumut.
"Sudah dijawab lengkap di penyidik, materi di penyidik," katanya.
Saat ditanya wartawan mengenai nilai suap yang diterima oleh anggota-anggota DPRD yang mencabut hak interpelasinya, Ajib juga menolak berkomentar.
"Tanya sama mereka yang mencabut," kata Ajib, sambil langsung masuk ke mobil tahanan KPK.
KPK sebelumnya menetapkan Gubernur Sumut non-aktif Gatot Pujo Nugroho sebagai pemberi suap, sedangkan penerima suap adalah Ketua DPRD Sumut periode 2014-2015 Ajib Shah dari fraksi Partai Golongan Karya (Golkar).
Selain itu, Ketua DPRD Sumut 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut 2014-2019 Saleh Bangun dari fraksi Partai Demokrat, Wakil ketua DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 Chaidir Ritonga dari fraksi Partai Golkar.
Turut terlibat dalam kasus tersebut adalah Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Kamaludin Harahap dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Sigit Pramono Asri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
KPK menyangkakan Gatot dengan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Sedangkan, Ajib, Saleh, Chaidir, Kamaludin dan Sigit dijerat dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...