Polres Bogor Evakuasi 12 PRT yang Diduga Disekap Perwira Tinggi Polri
BOGOR, SATUHARAPAN.COM - Diskriminasi terhadap pekerja rumah tangga (PRT) terus terjadi. Publik dikejutkan oleh berita di media mengenai dugaan penyekapan, penganiayaan, dan perdagangan orang terhadap belasan pekerja rumah tangga (PRT) di Bogor. Sejumlah 12 orang PRT, delapan di antaranya adalah perempuan, yang diduga disekap dalam rumah kediaman MS (mantan perwira tinggi di Mabes Polri), akhirnya dievakuasi oleh Polres Bogor Kota, Rabu (19/2).
Menurut Ketua Dewan Eksekutif Institut Perempuan R. Valentina Sagala, SE., SH., MH, evakuasi berawal dari laporan salah seorang korban. Korban AS (19) mengaku sering mendapat kekerasan fisik dari majikan dan tidak mendapatkan gaji selama beberapa bulan. Korban AS berhasil kabur dan melapor ke polisi. Korban melaporkan masih terdapat 12 orang PRT yang mengalami perlakuan serupa di rumah itu.
Korban dengan didampingi kuasa hukumnya memproses pemohonan perlindungan korban ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Koordinasi LPSK dengan Kabareskrim Polri akhirnya berujung kepada evakuasi para korban yang masih berada di rumah tersebut. Saat ini ketiga belas korban tengah dimintai keterangan oleh Polres Bogor Kota.
Kasus penyekapan PRT yang diduga dilakukan oleh istri jenderal polisi ini bahkan diduga bukan kasus pertama kalinya. Tetangga di lingkungan rumah MS mengungkapkan bahwa kejadian serupa pernah terjadi pada tahun 2012 di mana pada saat itu terdapat 24 orang PRT sempat mencoba kabur, kata Valentina dalam pernyataan pers ke redaksi satuharapan.com, Kamis (20/2).
Lebih lanjut dia menerangkan, kasus itu seakan menambah kelam rekam jejak Negara Indonesia terhadap perlindungan bagi PRT. Terhitung sejak 2007 hingga 2011, tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap PRT di Indonesia, terdiri dari 536 kasus upah tak dibayar, 348 di antaranya terjadi pada PRTA, 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal (JALA PRT). Komnas Perempuan mencatat, diantara 8.315 kasus KDRT, terdapat 59 kasus menimpa PRT pada 2012 (Catatan Tahunan 2013).
Upaya legislasi, lanjut Valentina, seperti pengundangan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pun juga terhambat. Hingga kini, RUU tersebut belum juga selesai dibahas sejak menjadi Program Legislasi Nasional 2010. Negara terbukti tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan perlindungan dan menjamin pemenuhan hak-hak PRT. Ini jelas bertolak belakang dengan pidato Presiden SBY dalam Sesi ke-100 Sidang ILO di Jenewa, Swiss, tentang komitmennya dalam melindungi PRT.
Perdagangan orang sebagai bentuk modern dari perbudakan manusia serta bentuk kejahatan transnasional yang terorganisir telah membuat negara berkomitmen memberantas dan menghukum perdagangan orang. Indonesia telah mengundangkan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Oleh karenanya, sudah seharusnya penyelenggara negara memprioritaskan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pemberantasan, penghukuman serta perlindungan korban, Valentina menjelaskan.
Tuntutan Intitut Perempuan
Mencermati kondisi di atas, Intitut Perempuan, pertama menuntut Kepolisian agar menyidik kasus penyekapan dan penganiayaan terhadap PRT secara tuntas serta mengungkap dugaan indikasi perdagangan perempuan. Kedua, pemerintah Daerah agar memberikan layanan pemulihan bagi korban. Ketiga, media massa agar menghormati hak korban atas kerahasiaan identitas dengan tidak mencantumkan identitas dan foto korban secara jelas. Keempat, LPSK agar memberi perlindungan bagi ketigabelas korban. Kelima, DPR dan Pemerintah untuk serius melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan PRT.
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...