PP Muhammadiyah Minta Fatwa MA Bukan MUI Soal Status Ahok
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) segera memutuskan status aktif atau nonaktif Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait status hukum terdakwa Basuki dalam dugaan penistaan agama.
“Kalau sudah ada pandangan resmi dari MA, maka laksanakan apa yang menjadi pandangan resmi itu. Jadi saya pikir itu merupakan langkah yang cukup elegan ya. Jadi di tengah banyak tafsir tentang aktif, nonaktif ini, maka jalan terbaik adalah meminta fatwa MA. Bukan Fatwa MUI,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, di Istana Merdeka, Jakarta, hari Senin (13/2).
Nashir mengatakan, Muhammadiyah menginginkan agar ditegakkannya prinsip hukum yang sifatnya syar'i atau tegas. Jadi kalau memang prinsip hukum dan dasar undang-undangnya harus nonaktif, ya nonaktif, katanya.
“Jadi saya yakin ini prinsip yang kita pegang semuanya kan. Indonesia negara hukum, jadi pakai prinsip hukum,” katanya.
Menurut dia, masalahnya kalau ada perbedaan tafsir harus ada otoritas yang memastikan itu. Jadi Muhammadiyah prinsipnya untuk semua kasus bukan hanya di DKI Jakarta, tapi di Gorontalo dan sebagainya meminta ditegakkannya hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
“Tentu kita harapkan MA juga jangan berlama-lama membikin fatwa. Agar kita semua ada dalam kepastian hukum dan tidak terus ribet dan gaduh seperti ini,” dia menegaskan.
Tunggu Tuntutan Jaksa
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan menunggu tuntutan jaksa penuntut umum yang mendakwa Basuki dalam dugaan penistaan agama.
"Saya tunggu tuntutan jaksa resmi dulu. Jaksa menuntut kan tidak alternatif A dan B, sudah pasti satu," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di lingkungan Istana Presiden Jakarta, hari Jumat (10/2).
Berdasarkan pasal 83 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif Pasal 156 huruf a atau Pasal 156 KUHP. Pasal 156 huruf a berbunyi "dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan Pasal 156 menyebut "Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp450 ribu".
"Tanggal 11 Februari, masa kampanyenya habis, ya kemudian pelaksana dakwaan sudah menyerahkan kembali kepada Pak Ahok, dan Pak Ahok terus melaksanakan tugas sebagai gubernur sampai masa berakhirnya dia nanti. Sedangkan pada posisi Pak Ahok sebagai terdakwa, karena tidak ditahan dan ancaman hukumannya belum ada putusan dari jaksa pasti apakah menggunakan empat atau lima tahun. Ya saya harus adil, yang kasusnya di bawah lima tahun, sepanjang tidak ditahan ya dia tetap menjabat," tambah Tjahjo.
Menurut Tjahjo, sudah ada sejumlah contoh kasus beberapa pimpinan daerah yang tidak diberhentikan sampai ada keputusan hukum tetap.
"Banyak yang kami terapkan selama saya dua tahun jadi Mendagri. Kalau dia OTT (Operasi Tangkap Tangan) langsung diberhentikan, kalau dia ditahan langsung diberhentikan sementara sampai keputusan hukum tetap. Kalau dia tidak ditahan tetapi tuntutannya di bawah lima tahun ada satu gubernur yang telah diputus sampai selesai tapi hanya dua tahun maka dia tetap menjabat sampai `in-kracht`," ungkap Tjahjo.
Tjahjo mencontohkan, mantan Gubernur Banten Ratut Atut Chosiyah yang sudah menjadi terpidana karena terbukti menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, baru diberhentikan saat sudah ditahan KPK.
"Dulu Bu Atut waktu terdakwa, tidak saya berhentikan tapi begitu beliau ditahan, baru diberhentikan. Gubernur Gorontalo di bawah lima tahun, tidak (diberhentikan). Lah ini (perkara Ahok), diregisternya dua," ucap Tjahjo.
Pendapat Tjahjo itu berbeda dengan pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menyatakan pada Kamis (9/2) bahwa pasal 83 ayat 1 UU 23 tahun 2014 jelas mengatur bahwa seorang kepala daerah yang menajdi terdakwa diberhentikan sementara jika diancam pidana minimal 5 tahun.
"Kalau Ahok ini dipertahankan juga ya cabut dulu pasal itu agar tidak melanggar hukum. Presiden bisa mencabut pasal itu dengan perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-undang), dengan hak subjektifnya, asal mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan perppu itu, jadi kalau tanggal 12 Februai ini Pak Ahok tidak akan dicopot harus keluarkan perppu dulu, tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut itu," kata Mahfud pada Kamis (9/2).
Tjahjo pun tidak menginginkan bila ia memberhentikan Ahok maka ada pihak-pihak yang akan menggugatnya.
"Sekarang kalau anda tahu tahu saya berhentikan, tahu-tahu nanti jaksa menuntut empat tahun, kan saya digugat. Saya harus adil dong. Terus nanti kenapa gubernur itu kok tidak? Jadi statusnya (Ahok) tunggu tuntutan jaksa," tegas Tjahjo.
Ratusan Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka dalam Pertempu...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Ratusan tentara Korea Utara yang bertempur bersama pasukan Rusia mela...