PPP Tolak Dana Saksi Disalurkan Melalui Parpol
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan M Romahurmuziy mengatakan partainya mendukung dana saksi pemilu dari partai politik dibiayai negara, namun menolak bila disalurkan melalui partai politik.
"Untuk antisipasi kekhawatiran korupsi, PPP menegaskan penolakannya akan pembiayaan saksi TPS oleh negara, bila dicairkan melalui parpol. Pencairan harus tetap melalui Bawaslu dan diawasi penegak hukum yang memiliki aparatus sampai tingkat TPS untuk mencegah adanya `honorarium fiktif`," katanya dalam siaran persnya yang diterima Antara, Selasa (4/2).
Ia menambahkan, pihaknya mendukung adanya dana saksi dari partai politik dibiayai oleh negara karena sejumlah alasan.
Menurut Romahurmuziy, kehadiran saksi akan lebih pasti sehingga lebih optimal dalam menghindari sengketa pemilu. Apalagi, sengketa pemilu di MK semakin meningkat yang menandakan adanya bias antara pemungutan dengan hasil perhitungan.
"Keberadaan dana saksi akan lebih memastikan kehadiran saksi sehingga tidak ada suara pemilih yang diselewengkan," katanya.
Ia menambahkan, sepanjang pemilu 2009, MK menerima sengketa hasil pemilu sebanyak 627 kasus yang berarti 627 kursi disengketakan baik DPR RI, provinsi maupun daerah.
"Dalam kondisi MK yang sekarang legitimasinya masih belum `pulih`, lebih baik mengurangi sengketa daripada membiarkan memperbanyaknya," katanya.
Biaya saksi, menurut dia, bukanlah membiayai partai politik, namun membiayai peningkatan kualitas demokrasi dengan memastikan dalam pemilu tidak dibiarkan adanya manipulasi suara di tingkat TPS.
Anggaran dana saksi tersebut menurut dia, sesuai UU 2/2011 tentang Parpol, dana saksi diatur dalam UU 2/2011 pasal 3 yang menyatakan bahwa pembiayaan kepada parpol oleh negara "diprioritaskan" untuk pendidikan politik, bukan "diwajibkan".
"Artinya negara, dalam bingkai desain UU tersebut, tidak dibatasi fungsinya pada semata-mata pembiayaan pendidikan politik," katanya.
Ia menambahkan, adalah merendahkan pemilih jika dikatakan dana Rp 100 ribu/TPS dapat digunakan untuk `membeli` suara di TPS dan berlebihan dikatakan `melanggengkan politik uang` karena menjadi saksi seperti "mencari kerja".
"Saksi itu memang relawan, namun dia meluangkan waktu dan tenaga seharian penuh. Kalau itu tidak dihargai, maka tidak perlu ada honor KPPS yang Rp 300 ribu, keamanan yang Rp 150 ribu, babinsa, panwaslu dan sejumlah istilah yang berkonotasi `relawan` pemilu lainnya yang nyata-nyata dihonori dalam pos penyelenggaraan pemilu yang Rp 17 triliun lebih tahun 2014," katanya. (Ant)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...