Praktik Pertambangan PT Freeport Mengabaikan Warga dan Mencemari
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penghasil tembaga dan emas terbesar di Indonesia, PT Freeport Indonesia, dalam praktik pertambangan telah mengabaikan hak warga dan mencemari lingkungan.
Aktivis lingkungan dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius, menyampaikan hal itu di Jakarta, Senin (5/2) dalam laporan studi kehidupan masyarakat pesisir Mimika di lokasi pembuangan limbah tambang PT Freeport Indonesia di acara peluncuran webGIS matapapua.org.
"Limbah yang berupa lumpur ini dibuang ke daerah aliran Sungai Aghawagon. Sungai ini bertemu dengan Sungai Ottomona. Selanjutnya ditampung di daerah bekas Sungai Ajkwa. Areal pengendapannya seluas 230 ha."
Pius membandingkan lokasi tempat pembuangan limbah itu panjangnya kira-kira dari Bogor sampai Tanjung Priok.
Produksi limbah sebesar 200 ribu ton sampai 250 ribu ton per hari. Karena besarnya, areal pengendapannya pun tidak dapat menampung sehingga limbah mengalir ke laut. Dia menyebutkan hal itu tertulis dalam dokumen PT Freeport Indonesia tahun 2009.
Limbah itu melampaui batas pencemaran yang ditetapkan Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
"Padahal masyarakat di sana seperti nelayan tergantung kepada air dan pantai yang bersih, serta tidak tercemar pertambangan. Ruang hidup masyarakat makin terancam. Pilihan hidup makin susah."
Pelabuhan PT Freeport sendiri terancam pendangkalan akibat endapan limbah. Untuk melindungi pelabuhannya maka PT Freeport membangun tanggul dengan memotong aliran sungai yang membawa limbah lumpur. Pelabuhan Freeport terlindung dari endapan limbah. Tetapi pemutusan sungai ini menghambat transportasi air masyarakat setempat dan lalu lintas nelayan menjadi terganggu.
"Sungai dekat lokasi pembuangan limbah, airnya keruh, pohon-pohon bagian bawah tertutup lumpur dan mulai mengering," kata Pius.
PT Freeport Indonesia merupakan anak perusahaan Freeport McMoran. Menjadi salah satu korporasi besar dunia berkat operasinya di Papua. Izin pertambangannya akan diperpanjangan sampai 2041.
"Tetapi jika praktik pertambangan tetap berlangsung seperti sekarang maka keberadaan korporasi ini akan terus mengancam warga dan lingkungan. Padahal hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang disebut dalam UUD 1945 Pasal 28 H," kata Pius.
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...