Prancis Harus Lakukan Terobosan Daripada Larang Burkini
DUBLIN, SATUHARAPAN.COM – Pelarangan pemakaian baju renang muslimah – burkini – di sejumlah kota di Prancis merupakan tindakan yang membuang waktu dan tenaga. Prancis seharusnya memikirkan masalah lain yang mengancam identitas negara tersebut daripada hanya burkini
Hal tersebut dikemukakan kolumnis The Irish Catholic, David Quinn dalam kolom opininya hari Kamis (1/9). Menurut Quinn burkini tidak sekadar pakaian bagi perempuan dan muslimah, namun burkini menjadi sumber konflik politik, karena beberapa kota memutuskan melarang pemakaian burkini.
“Ada banyak tindakan yang lebih efektif, cara yang lebih konstruktif untuk melestarikan identitas nasional Perancis dari sekadar larangan burkini,” tulis Quinn.
Quinn menyadari tingginya jumlah Muslim di Prancis menjadi salah satu penyebab negara dengan simbol Menara Eiffel tersebut mengalami ketakutan identitas nasionalismenya rusak. “Anda tidak bisa menyamakan Irlandia, dan Prancis, karena jumlah Muslim di sini sangat kecil, selain itu iklim di Irlandia tidak mendukung untuk berjemur di pantai seperti di Prancis,” kata Quinn.
Beberapa pekan lalu, dunia dikejutkan dengan gambar yang memperlihatkan beberapa petugas keamanan di sebuah pantai di Nice, Prancis yang melihat perempuan melepas burkini yang dia kenakan saat berjemur.
Pelarangan tersebut tidak hanya di satu kota namun di beberapa wilayah lain di Prancis, dan semakin mendapat dukungan dua tokoh ternama negeri itu. Perdana Menteri (PM) Prancis, Manuel Valls mengatakan tetap mendukung larangan burkini, sementara itu Mantan Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy yang berniat maju dalam Pemilihan Presiden pada 2017.
Quinn mempertanyakan apakah burkini merupakan ancaman bagi umat Kristiani di Eropa. Di sisi lain Quinn menekankan adanya kebebasan beragama yang harus didukung, termasuk untuk muslimah yang berkeinginan berhijab.
Dalam pandangan Quinn, dia melihat partai berhaluan kiri dan kanan di Prancis mengambil peran dalam kasus tersebut. “Partai berhaluan kiri cenderung menjadi pendukung terbesar sekularisme yang ingin menghilangkan agama ke domain pribadi,” kata dia.
Sementara itu partai berhaluan kanan yang konservatif, menurut dia seharusnya lebih mendukung perempuan mengenakan burkini. Quinn mengapresiasi Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve yang mengatakan Pemerintah menolak membuat undang-undang tentang masalah ini karena hukum tersebut akan inkonstitusional, tidak efektif dan menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.
Quinn mendukung perundingan yang telah dilakukan hari Senin (29/8) antara Bernard Cazeneuve, beberapa anggota parlemen Prancis dan beberapa pemimpin organisasi Muslim di Prancis.
Dalam pertemuan tersebut, menurut harian Prancis, Le Figaro, Cazeneuve menunjuk Mantan Menteri Pertahanan Prancis, Jean Pierre Chevenement sebagai pemimpin “Fondation pour les œuvres de l'islam de France” (yayasan yang mengurusi Islam di Prancis).
“Menurut saya yang terpenting yakni bagaimana umat Muslim bersama umat beragama lain di Prancis mau menerima nilai-nilai demokrasi Perancis dan tidak membuat beberapa bagian dari Prancis terlihat seperti wilayah Afrika Utara,” kata Quinn.
Quinn menyarankan Pemerintah Prancis harus menjamin rasa aman dan kenyamanan untuk umat Muslim dalam segala bentuk dan dijauhkan dari diskriminasi. “Muslimah yang mengenakan burkini di pantai bukan sebuah ancaman,” kata dia.
(irishcatholic.ie/lefigaro.fr)
Editor : Eben E. Siadari
Ribuan Warga Lebanon Kembali ke Rumah, Saat Gencatan senjata...
TYRE-LEBANON, SATUHARAPAN.COM-Ribuan warga Lebanon yang mengungsi akibat perang antara Israel dan mi...