Presentasi Platform Perupa Muda dalam Pra Biennale Jogja XV-2019
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bertempat di ruang pamer Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) – Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dua puluh hari digelar pameran seni rupa mempresentasikan enam belas karya seniman/kelompok seni. Pameran dibuka Kamis (1/8) malam.
Pameran yang menganggkat “Dari Batu, Air, dan Alam Pikir… untuk Udara dan Kehendak Bebas Manusia” merupakan bagian dari proses penjaringan seniman partisipan Biennale Jogja Equator #5|XV-2019 dengan memberikan ruang bagi seniman muda. Usaha penjaringan seniman muda menjadi bagian penting bukan saja untuk merangkul dan memberi ruang bagi seniman muda yang di Yogyakarta, namun juga sebagai cara untuk menjalankan salah satu fungsi perhelatan ini, yakni usaha-usaha pendidikan seni.
Penyelenggaraan Biennale Jogja tahun ini merupakan penyelenggaraan yang kesembilan belas sejak pertama kali digelar pada tahun 1988 dengan nama Biennale Seni Lukis Yogyakarta. Pada Penyelenggaraan kelima tahun 1997, Biennale Seni Lukis Yogyakarta berganti nama menjadi Biennale Seni Rupa. Pergantian nama kembali terjadi pada tahun 2003 menjadi Biennale Jogja yang secara spesifik mulai mengangkat tema/tagline dan berlanjut hingga saat ini. Sejak penyelenggaraan Biennale Jogja XI tahun 2011, Biennale Jogja mengangkat tema Equator mempertemukan praktik berkesenian bagi seniman-seniman yang berada di jalur katulistiwa (equator).
“Keenam belas karya tersebut setelah melewati proses penjurian-kurasi akan dipilih lima karya yang selanjutnya akan dikembangkan dan diikutkan dalam pameran utama Biennale Jogja Equator #5 di bulan Oktober mendatang,” jelas nara hubung pameran Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV-2019, Kiki Pea kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran, Kamis (1/8) malam.
Keenam belas seniman/kelompok seni tersebut adalah Riski Januar, Meliantha Muliawan, Eldhy Hendrawan, Marten Bayuaji, Fika Ria Santika, Yosep Arizal , Wisnu Ajitama, Agnes Christina, Kukuh Hermadi, Siam Candra Artista, Studio Malya, kelompok Barasub, kelompok Rokateater, kelompok Noise Brut, kelompok Pendulum, dan kelompok TacTic.
Presentasi karya dalam Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV-2019 banyak menawarkan /memperbincangkan isu-isu terkait sejarah, arsip, mitos, seni dan kebudayaan tradisional, lingkungan, medium karya, hingga persoalan hidup kekinian.
Kelompok TacTic mengangkat permasalahan sampah plastik dalam kehidupan sehari-hari di wilayah Yogyakarta. Karya instalasi-multimedia berjudul 100 Meter Lagi Ada yang berbasis pada riset menunjukkan hasil yang cukup mencengankan bahwa sebagian besar sampah plastik berasal dari daerah permukiman mahasiswa yang dikelilingi oleh gerai ritel modern dan super market.
Dalam karya berjudul Have You Heard It Lately?, Studio Malya membuat karya instalasi 64 kaleng yang digantung dengan seutas kabel pada atap dan satu telepon. Pada setiap kaleng yang dilengkapi dengan pengeras suara kecil melalui kabel diperdengarkan narasi-narasi tentang tragedi kemanusiaan tahun 1965 di Indonesia: G30S/PKI. Tragedi kemanusiaan tersebut hingga hari ini masih menyisakan misteri dan luka sejarah yang belum tertuntaskan oleh korban maupun keluarga korban.
Hal menarik dari presentasi karya pada platform Perupa Muda Biennale Jogja XV-2019 adalah basis data dan riset yang dilakukan seniman-kelompok seni dalam proses kekaryaannya. Kukuh Hermadi dalam karya berjudul Destroy and Reshare Opinion mengangkat fenomena pulung gantung (bunuh diri) di daerah Gunung Kidul dalam wacana fenomenologi dengan narasi yang melatarbelakanginya hingga ketersebarannya dalam sebuah pemetaan.
Seniman-perupa Fika Ria Santika yang masih terus mengembangkan project Tumpuk Lapis Tampak Isi dalam tematik Rona, Laras, dan Bayang, pada karya berjudul Tumpuk Lapis Tampak Isi: Rona 7 mendekonstruksi dua lembar karya kain songket Minang menjadi untaian benang-benang medium songket tersebut.
“Pada ketiga tematik tersebut saya melakukan pendekatan yang berbeda. Pada tematik Rona penekanannya lebih pada kebentukan obyek visual (sebuah karya). Ini untuk pertama kalinya saya menggunakan kain songket Minang. Hasil dekonstruksi tersebut akan saya jadikan medium karya berikutnya,” jelas Fika kepada satuharapan.com.
Eksperimen Fika menjadi menarik ketika realitasnya hari ini polarisasi-dikotomi seni masih kerap menjadi perdebatan menghadapkan antara fine art-applied art, pengkastaan cabang-disiplin seni, seni yang berjarak dengan masyarakat, serta isu-isu lainnya. Dengan mendekonstruksi sebuah karya seni kembali ke bentuk medium asalnya, Fika seolah sedang memberikan banyak kritik bagi praktik seni (rupa) hari ini. Saat ini dua karya Fika Ria Santika lainnya bisa dilihat pada pameran “Bebas” di Jogja Gallery dan Art Jog 2019 di komplek Jogja National Museum.
Tidak kalah menariknya pembacaan yang dilakukan kelompok Barasub mengangkat realitas kehidupan kaum tunapuan waria di masyarakat dalam karya berjudul Menapak di antara Dua Bukit. Dalam karya tersebut Barasub memotret sekaligus mendialogkan bahwa praktik-praktik intoleransi, subordinasi, hingga tafsir tunggal atas sebuah persepsi yang dialami kaum ‘minoritas’ oleh kaum ‘mayoritas’ yang masih banyak terjadi di Indonesia hanya menempatkan pihak lain sebagai liyan, bukan sebagaimana mestinya manusia.
Pameran pra-Biennale Jogja 2019 dengan presentasi platform perupa muda di ruang pamer PKKH-UGM akan berlangsung hingg 20 Agustus 2019. Selama pameran berlangsung dihelat juga beberapa program rangkaian pra Biennale Jogja 2019.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...