Presiden Baru Perlu Reorientasi Pembangunan Ekonomi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat ekonomi politik Didin S Damanhuri menilai presiden terpilih mendatang perlu melakukan reorientasi pembangunan ekonomi yang selama ini lebih berorientasi kepada produk domestik bruto (GDP oriented) menjadi lebih menekankan kepada pemerataan.
“Kita menangkap adanya spirit untuk reorientasi pembangunan ekonomi dari kedua capres yang dalam visinya akan lebih menekankan kepada pemerataan. Dengan berorientasi kepada pemerataan tersebut, salah satu konsekuensinya adalah perlu menggeser kecenderungan selama ini yang lebih GDP oriented,” ujar Didin dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (26/6).
Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor ini, dengan GDP oriented yang menempatkan instrumen pasar untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi tanpa negara aktif dalam regulasi sosial di mana kelompok miskin harus bertarung dalam kompetisi dengan kelompok kaya dalam akses berbagai sumber daya. Dalam kompetisi tersebut negara tidak secara aktif memberikan jaminan sosial di lain pihak.
“Karenanya diperlukan reorientasi dalam pembangunan ekonomi dengan terpilihnya presiden baru 2014 ini, yang menempatkan GDP lebih sebagai indikator dan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menempatkan mekanisme pasar untuk mencapai efisiensi tapi dengan orientasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang tinggi dan merata seperti pesan Konstitusi-UUD 45,” kata Didin.
Menurut Didin, ekonomi kekeluargaan (pasal 33 UUD 45) bukan yang ditafsirkan pada zaman Soeharto secara nepostik, tapi negara kekeluargaan yang berprinsip modern seperti yang telah dilaksanakan secara sukses oleh Jepang dan Eropa Utara.
Didin menuturkan, salah satu kunci dalam reorientasi pembangunan ekonomi ke depan adalah bagaimana menyehatkan APBN untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya serta berusaha menghapus kebocoran serta korupsi.
“APBN kita selama ini untuk anggaran pembangunan kurang dari 25 persen. Karena politik subsidi (terakhir sebesar Rp 430 triliun) dari total APBN sekitar Rp 1.850 triliun, belum tentu jatuh kepada rakyat yang membutuhkan khususnya subsidi migas yang mencapai sekitar Rp 285 triliun,” ujar Didin.
Selain itu, pajak yang mencapai Rp 1.000 triliun masih bocor antara lain 25 hingga 40 persen baik karena KKN maupun kebocoran lainnya.
“Utang luar negeri yang mencapai total sekitar Rp 4.300 triliun, di mana utang pemerintah harusnya makin dikurangi, apalagi kalau pajak kita makin mendekati nol kebocorannya,” kata Didin. (Ant)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...