Presiden Filipina Tuduh Serangan Bom pada Misa Katolik Dilakukan Teroris Asing
MANILA, SATUHARAPAN.COM-Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, pada Minggu (3/12) mengutuk serangan bom yang dilakukan oleh “teroris asing” terhadap misa Katolik di Filipina selatan yang menyebabkan sedikitnya tiga orang tewas
“Saya mengutuk keras tindakan tidak masuk akal dan paling keji yang dilakukan oleh teroris asing terhadap Universitas Negeri Mindanao (MSU) dan komunitas Marawi pada Minggu pagi ini,” kata Marcos dalam sebuah pernyataan.
Sedikitnya tiga orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam serangan bom terhadap misa Katolik di Filipina selatan yang dilanda pemberontakan pada hari Minggu, dan Presiden Ferdinand Marcos, dan menyalahkan “teroris asing”.
Ledakan itu terjadi saat kebaktian reguler di gimnasium Universitas Negeri Mindanao di Marawi, kota Muslim terbesar di negara itu, kata Kepala Polisi Daerah Allan Nobleza.
“Kami sedang menyelidiki apakah itu merupakan serangan IED (bom rakitan) atau pelemparan granat,” kata Nobleza, mengacu pada alat peledak rakitan.
Universitas Negeri Mindanao mengeluarkan pernyataan yang mengutuk “tindakan kekerasan”, karena universitas tersebut meliburkan kelas-kelas dan mengerahkan lebih banyak personel keamanan di kampus.
“Kami berdiri dalam solidaritas dengan komunitas Kristen dan semua orang yang terkena dampak tragedi ini,” kata universitas tersebut.
Nobleza mengatakan tiga orang tewas dan Gubernur Provinsi Lanao del Sur Mamintal Adiong mengatakan kepada wartawan “lebih dari 40” orang yang terluka sedang dirawat di rumah sakit.
Foto-foto yang diposting di halaman Facebook pemerintah Lanao del Sur menunjukkan beberapa kursi plastik terbalik dan puing-puing di sekitar bercak hitam di lantai gimnasium.
Mahasiswa universitas Chris Jurado, 21 tahun, mengatakan kepada AFP dari tempat tidurnya di rumah sakit bahwa ledakan itu terjadi saat pembacaan Alkitab pertama pada misa pagi pada pukul 07:00 pagi.
“Itu sangat mendadak dan semua orang lari,” kata Jurado. “Ketika saya melihat ke belakang, ada orang-orang yang tergeletak di lantai. Kami tidak tahu apa yang terjadi karena semuanya terjadi begitu cepat.”
Rowena Mae Fernandez, 19 tahun, mengatakan awalnya dia tidak mengetahui ledakan apa yang terjadi, kemudian orang lain mulai berlarian. “Saya dan rekan saya juga lari, meski sempat terjatuh ke tanah. Itu satu-satunya hal yang saya ingat sampai saya keluar dari gym dan terjatuh lagi,” ujarnya dari rumah sakit.
“Teman-temanku menangis karena melihat lukaku.”
Marcos mengutuk serangan yang dilakukan “teroris asing” dan menggambarkannya sebagai “tidak masuk akal” dan “keji”. Wali Kota Marawi, Majul Gandamra, mendesak anggota komunitas Muslim dan Kristen untuk tetap bersatu.
“Kota kami telah lama menjadi mercusuar hidup berdampingan secara damai dan harmoni, dan kami tidak akan membiarkan tindakan kekerasan seperti itu menutupi komitmen kolektif kami terhadap perdamaian dan persatuan,” kata Gandamra dalam sebuah pernyataan yang mengutuk serangan tersebut.
Tindakan Pengecut
Nobleza mengatakan polisi sedang menyelidiki apakah pemboman itu merupakan serangan balas dendam atas serangan udara militer Filipina pada hari Jumat (1/12) yang menewaskan 11 militan ekstremis dari organisasi Dawlah Islamiyah-Filipina di Mindanao.
Militer mengatakan pada hari Sabtu bahwa kelompok tersebut berencana melancarkan serangan di Provinsi Maguindanao del Sur.
Penyelidikan lain adalah apakah sisa-sisa kelompok militan Maute dan Abu Sayyaf, yang mengepung Marawi pada tahun 2017, terlibat, kata Nobleza.
Militer Filipina merebut kembali kota yang hancur tersebut setelah pertempuran selama lima bulan yang merenggut lebih dari seribu nyawa, setelah ratusan pejuang asing dan lokal pro ISIS merebut kota tersebut pada Mei 2017.
Lanao del Sur dan Maguindanao del Sur adalah bagian dari Daerah Otonomi Bangsamoro di Muslim Mindanao.
Minoritas Muslim di negara tersebut diberi pemerintahan sendiri di bawah mantan presiden Rodrigo Duterte sebagai bagian dari upaya untuk mencegah ekstremisme melakukan kekerasan.
Kepala Menteri Pemerintahan Bangsamoro, Ahod Ebrahim, mengatakan dia “mengecam tindakan keji dan pengecut tersebut” dan menyerukan “penyelidikan menyeluruh” atas insiden tersebut.
Serangan militan terhadap bus, gereja Katolik dan pasar umum telah menjadi ciri kerusuhan yang telah berlangsung selama beberapa dekade di wilayah tersebut.
Manila menandatangani pakta perdamaian dengan kelompok pemberontak terbesar di negara itu, Front Pembebasan Islam Moro, pada tahun 2014, yang mengakhiri pemberontakan bersenjata mematikan mereka.
Namun masih ada kelompok kecil pejuang Muslim yang menentang perjanjian perdamaian, termasuk militan yang mengaku setia kepada ISIS. Pemberontak komunis juga beroperasi di wilayah tersebut. (dengan AFP)
Editor : Sabar Subekti
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...