Presiden Joko Soroti Perbedaan Kebijakan Terkait BLBI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti perbedaan kebijakan yang diambil pemerintah dengan pelaksanaan kebijakan tersebut terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp 3,7 triliun.
"Bedakan paling penting, bedakan mana kebijakan mana pelaksanaan. Keputusan presiden, peraturan presiden, instruksi presiden adalah kebijakan, itu kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, pelaksanaan itu wilayahnya beda lagi," kata Presiden Jokowi seusai membuka pameran Inacraft 2017 di Jakarta, hari Rabu (26/4).
KPK sebelumnya, hari Selasa (25/4), mengumumkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
"Tapi silakan tanyakan detail ke KPK," tambah Presiden.
Dalam kasus ini, Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp 144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp 138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN.(Ant)
Editor : Melki Pangaribuan
Film The Last Dance Pecahkan Rekor Box Office Hong Kong
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "The Last Dance", sebuah film drama berlatarkan rumah duka yang...