Presiden Joko Widodo: Yang merasa Paling Benar, Biasanya Tidak Benar
Jokowi mengatakan jangan ada yang merasa paling pancasilais dan merasa paling agamis.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Presiden Joko Widodo mengatakan agar tidak ada orang yang merasa paling "Pancasilais" sendiri. "Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri. Semua yang merasa paling benar dan memaksakan kehendak, itu hal yang biasanya tidak benar."
Presiden Jokowi dengan pakaian adat Sabu, mengatakan hal itu dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI tahun 2020 di Gedung MPR/DPR, Jakarta, hari Jumat (14/8).
Menurut Presiden, demokrasi memang menjamin kebebasan, namun kebebasan yang menghargai hak orang lain. "Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan," ungkap Presiden.
Presiden pun mengungkapkan ideologi bangsa Indonesia tidak boleh ditukar untuk kemajuan ekonomi. "Ideologi dan nilai-nilai luhur bangsa tidak boleh dipertukarkan dengan kemajuan ekonomi. Bahkan, kemajuan ekonomi jelas membutuhkan semangat kebangsaan yang kuat," kata Presiden.
Menurut Presiden, nilai-nilai luhur Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, persatuan dan kesatuan nasional, tidak bisa dipertukarkan dengan apa pun juga. "Kita tidak bisa memberikan ruang sedikit pun kepada siapa pun yang menggoyahkannya," kata Presiden.
Perbuatan tidak menukar ideologi tersebut menurut Presiden Jokowi adalah dengan bangga terhadap produk dalam negeri. "Kita harus membeli produk dalam negeri. Kemajuan Indonesia harus berakar kuat pada ideologi Pancasila dan budaya bangsa," katanya.
Media untuk Mendulang Click
Sidang Tahunan kali ini hanya 161 anggota yang hadir secara fisik di gedung DPR/MPR Senayan, dan 274 lainnya mengikuti secara virtual. Seluruhnya ada 435 anggota yang mengikuti sidang yang diselenggarakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat di tengah pandemi COVID-19. Presiden Joko Widodo yang mengenakan pakaian adat dari Sabu, Nusa Tenggara Timur.
Dalam pidato itu, Presiden juga menyoroti peran media digital yang saat ini sangat besar harus diarahkan untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. "Semestinya, perilaku media tidak dikendalikan untuk mendulang 'click' dan menumpuk jumlah 'like' tapi seharusnya didorong untuk menumpuk kontribusi bagi kemanusiaan dan kepentingan bangsa," kata Presiden.
Tujuan besar tersebut menurut Presiden, hanya bisa dicapai melalui kerja sama seluruh komponen bangsa dengan gotong royong. "Saling membantu, dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan tujuan yang mulia," katanya.
Krisis untuk Memicu Kemajuan
Presiden mengatakan bahwa pandemi COVID-19 membuat semua yang sudah direncanakan harus berubah total termasuk perayaan hari kemerdekaan. “Semestinya, seluruh kursi di ruang sidang ini terisi penuh, tanpa ada satu kursi pun yang kosong,” katanya.
Ia juga menyatakan prihatin karena semestinya, sejak dua yang lalu, berbagai lomba dan kerumunan penuh kegembiraan, karnaval-karnaval perayaan peringatan hari kemerdekaan diadakan, menyelimuti suasana bulan kemerdekaan ke-75 RI. “Namun, semua yang sudah kita rencanakan tersebut harus berubah total,” kata Presiden.
Semua ini, kata Kepala Negara, tetap tidak boleh mengurangi rasa syukur dalam memperingati 75 Tahun Indonesia Merdeka. “Sebanyak 215 negara, tanpa terkecuali, sedang menghadapi masa sulit diterpa pandemi COVID-19,” katanya.
Mengutip catatan WHO, Presiden menyebutkan sampai tanggal 13 Agustus 2020, terdapat lebih dari 20 juta kasus di dunia, dengan jumlah kematian di dunia sebanyak 737 ribu jiwa. “Semua negara, negara miskin, negara berkembang, termasuk negara maju, sedang mengalami kemunduran karena terpapar COVID-19,” katanya. Namun dia mengajak agar situasi krisis ini justru harus menjadi pemicu bagi kemajuan dengan melakukan lompatan-lompatan besar dan reformasi.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...