Presiden Mesir Tak Hadiri Perundingan, Jika Pemindahan Warga Palestina Masuk Agenda
Berikut alasan Yordania dan Mesir menolak pemindahan warga Palestina di Gaza.
![](/uploads/pics/news_13_1739676995.jpg)
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, tidak akan melakukan perjalanan ke Washington untuk melakukan pembicaraan di Gedung Putih jika agenda tersebut mencakup rencana Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza, kata dua sumber keamanan Mesir.
Dalam panggilan telepon antara Trump dan Sisi pada 1 Februari, presiden AS menyampaikan undangan terbuka kepada mitranya dari Mesir untuk mengunjungi Gedung Putih, kata kepresidenan Mesir sebelumnya. Belum ada tanggal yang ditetapkan untuk kunjungan tersebut, kata seorang pejabat AS.
Kepresidenan Mesir dan kementerian luar negeri tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Raja Yordania Abdullah II sekali lagi juga menolak pemindahan massal warga Palestina setelah bertemu dengan Presiden Donald Trump, yang menyerukan agar sekitar dua juta penduduk Jalur Gaza dipindahkan dari wilayah yang dilanda perang itu.
Trump telah menyarankan agar mereka dapat dimukimkan kembali di Yordania dan Mesir, yang keduanya sangat menentang skenario semacam itu. Warga Palestina juga menolak rencana Trump, yang mereka lihat sebagai upaya untuk memindahkan mereka secara paksa dari sebagian tanah air mereka. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar juga telah menolak rencana tersebut.
Para pemimpin Israel menyambut baik usulan Trump, yang menurut Human Rights Watch dan pihak lain akan menjadi pembersihan etnis – pemindahan paksa penduduk sipil suatu kelompok nasional dari suatu wilayah geografis.
Penolakan Yordania
Selama pertemuannya dengan Trump, Raja Abdullah mengajukan diri untuk menerima hingga 2.000 anak dari Gaza yang menderita kanker atau memerlukan perawatan medis. Namun dalam sebuah posting di X setelah pertemuan tersebut, ia menegaskan kembali posisi teguh Yordania dalam menentang pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, seraya menambahkan bahwa itu adalah posisi Arab yang bersatu.
Berikut ini adalah alasan mengapa Yordania dan Mesir menolak menerima pengungsi Palestina dalam jumlah besar.
Sejarah Pemindahan
Sebelum dan selama perang 1948 yang terjadi di sekitar pembentukan Israel, sekitar 700.000 warga Palestina—mayoritas dari populasi sebelum perang—melarikan diri atau diusir dari rumah mereka di wilayah yang sekarang menjadi Israel, sebuah peristiwa yang diperingati oleh warga Palestina sebagai Nakba (bahasa Arab untuk “malapetaka”).
Israel menolak mengizinkan mereka kembali karena hal itu akan mengakibatkan mayoritas warga Palestina berada di dalam perbatasannya.
Para pengungsi dan keturunan mereka sekarang berjumlah sekitar enam juta, dengan komunitas besar di Gaza, tempat mereka menjadi mayoritas populasi, serta Tepi Barat yang diduduki Israel, Yordania, Lebanon, dan Suriah.
Dalam perang Timur Tengah tahun 1967, ketika Israel merebut Tepi Barat dan Jalur Gaza, 300.000 warga Palestina lainnya melarikan diri, sebagian besar ke Yordania. Kerajaan tersebut menampung populasi pengungsi Palestina terbesar, dengan lebih dari dua juta orang, yang sebagian besar telah diberikan kewarganegaraan Yordania.
Krisis pengungsi yang telah berlangsung puluhan tahun telah menjadi inti dari konflik Israel-Palestina dan merupakan salah satu masalah paling pelik dalam perundingan damai yang terakhir kali gagal pada tahun 2009.
Warga Palestina mengklaim hak untuk kembali, sementara Israel mengatakan mereka harus diserap oleh negara-negara Arab di sekitarnya.
Banyak warga Palestina memandang perang terbaru di Gaza, di mana seluruh lingkungan telah dibombardir hingga hancur dan 90 persen penduduk telah dipaksa meninggalkan rumah mereka, sebagai Nakba baru.
Mereka khawatir bahwa jika sejumlah besar warga Palestina meninggalkan Gaza, maka mereka juga mungkin tidak akan pernah kembali. Tetap bertahan di tanah sendiri merupakan inti dari budaya Palestina dan ditunjukkan dengan jelas di Gaza bulan lalu ketika ribuan orang kembali ke bagian wilayah yang paling hancur.
Garis Merah bagi Negara-negara Yang Berdamai Dengan Israel
Mesir dan Yordania dengan keras menolak gagasan menerima pengungsi Gaza di awal perang ketika gagasan itu digulirkan oleh beberapa pejabat Israel. Kedua negara telah berdamai dengan Israel tetapi mendukung pembentukan negara Palestina di Tepi Barat yang diduduki, Gaza, dan Yerusalem timur. Mereka khawatir bahwa pemindahan penduduk Gaza secara permanen dapat membuat hal itu mustahil.
Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, juga telah memperingatkan implikasi keamanan dari pemindahan sejumlah besar warga Palestina ke Semenanjung Sinai Mesir yang berbatasan dengan Gaza.
Hamas dan kelompok ekstremis lainnya berakar kuat dalam masyarakat Palestina dan kemungkinan akan pindah bersama para pengungsi, yang berarti bahwa perang di masa mendatang akan terjadi di tanah Mesir. Itu dapat membatalkan perjanjian damai Camp David yang bersejarah, landasan stabilitas regional.
Itulah yang terjadi di Lebanon pada tahun 1970-an ketika Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) milik Yasser Arafat, kelompok ekstremis terkemuka pada masanya, mengubah wilayah selatan negara itu menjadi landasan peluncuran untuk menyerang Israel.
Krisis pengungsi dan tindakan PLO menyebabkan Lebanon mengalami perang saudara selama 15 tahun pada tahun 1977. Israel menginvasi dua kali dan menduduki Lebanon selatan dari tahun 1982 hingga 2000.
Yordania berselisih dengan PLO dan mengusirnya dalam situasi yang sama pada tahun 1970. Kaum ultranasionalis Israel telah lama menyarankan agar Yordania dianggap sebagai negara Palestina sehingga Israel dapat mempertahankan Tepi Barat, yang mereka pandang sebagai jantung tanah air orang-orang Yahudi menurut Alkitab. Kerajaan Yordania dengan keras menolak skenario itu.
Dapatkah Trump Memaksa Mesir dan Yordania untuk Menerima Pengungsi?
Itu tergantung pada seberapa serius Trump tentang gagasan itu dan seberapa jauh ia siap melangkah. Tarif AS—salah satu alat ekonomi favorit Trump—atau sanksi langsung dapat menghancurkan Yordania dan Mesir. Kedua negara menerima miliaran dolar bantuan Amerika setiap tahun, dan Mesir sudah terperosok dalam krisis ekonomi.
Trump telah menyarankan bahwa ia mungkin menahan bantuan tetapi menolak untuk mengulangi ancaman itu dalam pertemuannya dengan Abdullah pada hari Selasa, dengan mengatakan: "Saya tidak perlu mengancam itu. Saya yakin kita berada di atas itu."
Membiarkan masuknya pengungsi juga dapat mengganggu stabilitas kedua negara. Mesir mengatakan saat ini menampung sekitar sembilan juta migran, termasuk pengungsi dari perang saudara Sudan. Yordania, dengan populasi kurang dari 12 juta, menampung lebih dari 700.000 pengungsi, terutama dari Suriah.
Rencana Trump mengenai Gaza juga dapat mempersulit upaya untuk menengahi normalisasi diplomatik antara Israel dan Arab Saudi, yang mengatakan tidak akan menjalin hubungan dengan Israel tanpa pembentukan negara Palestina. (Reuters/AP)
Editor : Sabar Subekti
![Hamas Akan Bebaskan Enam Sandera Israel, dan Serahkan Empat Jenazah Pekan Ini](/uploads/cache/309x206_news_13_1739945494.jpg)
Hamas Akan Bebaskan Enam Sandera Israel, dan Serahkan Empat ...
JALUR GAZA, SATUHARAPAN.COM-Hamas mengatakan pada hari Selasa (18/2) bahwa mereka akan menyerahkan e...