Presiden Prancis Dinilai Sukses Buat Jokowi Ketakutan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai penundaan eksekusi mati warga negara Prancis Serge Areski Atlaoi adalah bukti terpengaruhnya Presiden Joko Widodo dengan ancaman Presiden Prancis Francois Hollande.
Sebab, menurut dia, secara prosedur tidak ada alasan Pemerintah Indonesia menunda eksekusi mati Serge, karena Serge adalah operator pabrik narkotika dan obat terlarang (narkoba) di Indonesia.
"Ini keraguan Jaksa Agung, begitu Presiden Hollande mengancam pemutusan hubungan diplomatik. Yang termakan tekanan pasti pemerintah, pemerintah itu mentok-mentoknya kan Presiden," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/8).
Dia berpandangan, Jaksa Agung seperti menganda-ada alasan penundaan eksekusi mati Serge, dengan mengatakan yang bersangkutan tengah banding penolakan pemberian grasi oleh Presiden Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Padahal, kata politisi PPP itu, apapun hasil putusan PTUN, menolak atau menerima gugatan, status Serge tetap terpidana mati. Artinya, yang dibatalkan bukan keputusan pengadilan atas hukuman mati, tetapi penolakan grasi yang diajukan pada Presiden Jokowi.
"Kalaupun diterima, Serge paling mengajukan grasi lagi ke Presiden Jokowi, ya bisa ditolak lagi. Saya lebih menghargai kalau Jaksa Agung mengatakan akan menunda karena akan menjelaskan pada pemerintah Prancis. Beda halnya dengan Mary Jane lebih bisa diterima kalau ditunda eksekusinya," ujar Arsul.
Lanjutkan Eksekusi Serge
Celakanya, kata penghuni Komisi III DPR RI itu, para pegiat anti hukuman mati malah mendukung upaya banding melalui PTUN.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, teman-teman pegiat hak asasi manusia (HAM) dan kelompok yang hendak menghapus hukuman mati ini juga mengada-ada grasi, kok di PTUN kan, di PTUN kan itu tidak ada efek apapun terhadap vonis mati itu sendiri," ujar dia.
Oleh karena itu, Arsul meminta pemerintah terus melanjutkan proses eksekusi mati Serge, meskipun akan menghadapi dampak negatif dalam hubungan bilateral dengan Prancis.
"Tidak akan kemudian kalau kita lakukan eksekusi lalu investasi ditarik. Karena antara sikap pemerintah Prancis dengan investor (bukan pemerintah Prancis) belum tentu sama pandangannya. Kalau investor itu urusannya untung apa tidak, begitu juga pada Australia dan Brazil," ucap Arsul.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...