Profil Ahmad Al-Jarba, Pemimpin Oposisi Suriah
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Para pihak, pemerintah dan oposisi Suriah, tengah bernegosiasi untuk mengakhiri perang yang sangat berdarah di negeri mereka selama tiga tahun. Pembicaraan masih terbatas pada masalah bantuan kemanusiaan dan kemungkinan pembebasan tahanan.
Namun negosiasi yang dikenal sebagai Konferensi Jenewa II yang dimulai hari Rabu (22/1) itu diharapkan mencapai solusi komprehensif untuk menghentikan perang dan membangun Suriah yang demokratis.
Di antara tokoh yang melancarkan pemberontakan adalah Ahmad Al-Jarba yang sejak 6 Juli 2013 dipilih sebagai Presiden Koalisi Oposisi untuk Revolusi Suriah dan Pasukan Oposisi. Dia dipilih dalam satu pertemuan di Istanbul, Turki menggantikan pendahulunya Moaz Al-Khatib, seorang ulama terkenal dari Damaskus, yang mengundurkan diri karena frustasi atas lemahnya dukungan Barat pada mereka.
Jarba mendapatkan dukungan 55 suara yang melebihi suara untuk tiga kandidat lainnya. Namun kepemimpinannya segera mendapat tantangan. Dua hari setelah pemilihan, Ghassan Hitto, yang didukung Qatar dan ditunjuk sebagai perdana menteri sementara pada bulan Maret, justru mengundurkan diri. Ini menjadi isu tentang kegagalan oposisi untuk membentuk pemerintahan di pengasingan.
Berikut ini adalah profil Ahmad Al-Jarba yang berperan penting dalam negosiasi di Jenewa dari pihak oposisi.
Dipenjarkan Rezim Hafez
Jarba lahir dari suku Qamishli di wilayah utara timur Suriah pada15 september tahun 1969. Dia adalah mantan tahanan politik pada masa Presiden Hafez Al-Assad, ayah Bashar Al-Assad. Dia meringkuk di tahanan dalam kurun 1996 – 1998.
Jarba adalah sarjana hukum dan anggota Dewan Revolusioner dari Klan Suriah yang mewakili kelompok Al-Hasakah dan mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah Arab Saudi. Dia seorang pemimpin yang kuatdari suku Shammar, yang warganya tersebar di Suriah, Irak, Yordania dan Arab Saudi. Dia memainkan peran penting dalam menjembatani suku-suku di Suriah timur dan kelompok oposisi.
Jarba seorang Muslim Sunni yang tinggal di Provinsi Hassakeh di Suriah yang penduduknya adalah orang Arab dan Kurdi. Dia aktif dalam politik mulai tahun 1990 dan gencar menentang pemerintahan Presiden Hafez Al-Assad, sehingga dipenjarakan.
Setelah pemerintahan oleh Bashar Al-Assad mulai 2000, Jarba dipenjarakan lagi pada bulan Maret 2011 pada awal pemberontakan yang berkembang menjadi perang sipil sekarang ini. Dia mendukung protes pro demokrasi, dan sempat pergi ke negara tetangga Lebanon pada bulan Agustus, setelah dia dibebaskan.
Jarba kemudian menghabiskan waktu di Arab Saudi yang diyakini sebagai upaya mempertahankan hubungan dekat dengan pimpinan kerajaan Arab Saudi yang merupakan sumber utama dukungan untuk oposisi Suriah.
Jarba juga dekat dengan faksi pembangkang Suriah yang sekuler, Michel Kilo, dan berusaha untuk mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok minoritas dalam menghadapi pengambilalihan kelompok oposisi oleh faksi Islamis.
Dipecat dari Dewan
Pada awalnya Jarba adalah anggota oposisi pada Dewan Nasional Suriah (SNC), sebelum bergabung dengan koalisi. Dia sempat dikeluarkan keanggotaannya dari SNC pada Maret 2013, menyusul penunjukan Ghassan Hitto sebagai perdana menteri pemerintah sementara organisasi oposisi itu. Dan Jarba melanjutkan dengan mengelola wilayah yang dikuasai pemberontak.
Menurut halaman Facebook Koalisi Nasional, Jarba mendukung revolusi Suriah, memberikan bantuan medis dan militer sejak awal revolusi. Dia juga tokoh kunci dalam membangun diplomasi politik.
Dalam beberapa bulan terakhir, Jarba menjadi pendukung terkemuka yang memberikan senjata kepada pasukan oposisi. Dia sering tampil dengan setelan jas gaya Barat lengkap dengan dasi, namun beberapa foto resmi Jarba memperlihatkan dia mengenakan jubah tradisional yang umum dikenakan oleh suku Arab.
Tantangan Oposisi
Kepemimpinan Jarba menghadapi tantangan ketika di antara oposisi terdapat begitu banyak kelompok bersenjata, bahkan di antara mereka terjadi kontak senjata dan menimbulkan banyak korban. Sebuah laporan menyebutkan ada sekitar seribu kelompok di antara pemberontak di Suriah.
Di sisi lain ada kelompok jihadis yang terkait dengan Al-Qaeda, seperti Negara Islam Irak dan Levant (ISIL), Jabhat A-Nusra, serta kelompok lain yang datang dari negara tetangga. Kehadiran jihadis yang sebagian telah dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh Barat dan PBB, membuat pihak Barat kurang memberi dukungan pada oposisi.
Situasi ini juga dinilai menguntungkan pihak rezim Bashar Al-Assad yang berdalih melawan terorisme, dan bukan menghadapi oposisi yang menghendaki reformasi. Hal itu terbukti dalam pertemuan di Jenewa, di mana delegasi pemerintah terus memaksakan pembahasan tentang keamanan dan terorisme, dan enggan menyebut Komunike Jenewa I yang menyebutkan pemerintahan transisi.
Banyaknya faksi di dalam oposisi, membuat kekuatan mereka tidak solid. Bahkan untuk menentukan partisipasi dalam pembicaraan damai di Jenewa saja, oposisi terus menghadapi masalah. Sebagian faksi bahkan menyatakan tidak mendukung.
Tantangan Jarba sekarang adalah bagaimana Konferensi Jenewa II ini menghasilkan kesepakatan untuk implementasi Komunike Jenewa I. Agenda tentang hal ini masih menghadapi banyak hambatan, dan sejauh ini belum memberikan tanda-tanda yang pasti. Namun jika bisa dicapai, tantangan di dalam koalisis oposisi untuk menerima kesepakatan juga tampaknya akan menjadi tantangan bagi kepemimpinan Jarba. (dari berbagai sumber)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...