Profil Mohamed Morsi, Presiden Pertama Mesir yang Dipilih Secara Demokratis
SATUHARAPAN.COM - Presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis, Mohamed Morsi, telah digulingkan rakyat melalui kudeta Militer pada 3 Juli 2013 yang lalu. Pada ulang tahun pertamanya sebagai Presiden Mesir, ia diprotes secara nasional dan dituntut mundur dari kepemerintahannya.
Ia dilahirkan pada tahun 1951 di Al-Sharqiya Governorat di Mesir utara, dan dibesarkan di desa El-Adwa di Delta Nil. Morsi adalah putra seorang petani, menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Kairo, mendapatkan gelar sarjana dan gelar master di bidang teknik. Sejak tahun 1975 hingga 1976, Morsi berkerja sebagai tentara Mesir di departemen perang kimia.
Pada tahun 1979, Morsi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok Islam yang berpengaruh terhadap pemerintahan Mesir. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya di Universitas of Southern California, Amerika Serikat (AS) pada tahun 1982. Dia kemudian bekerja sebagai asisten profesor di Universitas California State, Northridge sampai tahun 1985.
Selanjutnya, Morsi bersama istri dan kelima anak-anaknya (dua anaknya berstatus warga negara AS) meninggalkan AS. Ia menjadi kepala departemen teknik di Universitas Zagazig Mesir, di dekat kampung halamannya.
Pada tahun 1995, Morsi naik jabatan menjadi anggota Dewan Penasehat pada jajaran kelompok Ikhwanul Muslimin. Ia terpilih menjadi anggota parlemen pada tahun 2000 dari calon independen, karena sebagai anggota kelompok Ikhwanul Muslimin telah secara resmi dilarang menjabat dalam pemerintah, namun kehadirannya dalam parlemen sebagai juru bicara kelompok Ikhwanul Muslimin.
Pada tahun 2006, Morsi dipenjara selama tujuh bulan karena turut serta dalam demonstrasi yang mendukung perubahan independensi sistem peradilan tanpa intervensi dari pemerintah. Dia juga pernah ditangkap dan ditahan sebentar selama tahun 2011 karena ikut serta dalam pemberontakan yang akhirnya menggulingkan presiden Mesir Hosni Mubarak.
Setelah Mubarak jatuh, Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Kebebasan dan Keadilan sebagai sayap politik mereka. Partai ini awalnya memilih Khairat el-Shater sebagai calon presiden dalam pemilu, tetapi ia didiskualifikasi. Kemudian, Morsi yang terpilih sebagai penggantinya, sehingga beberapa pihak menyebutnya sebagai "ban serep" kandidat dari Ikhwanul Muslimin.
Dalam pemilihan presiden Mesir yang diselenggarakan pada Mei tahun 2012, Morsi memenangkan hampir 25 persen suara dalam putaran pertama - melebihi dari calon lainnya. Morsi, meyakinkan para pemilih Mesir bahwa ia tidak akan memerintah sebagai autokrat.
Ia mengalahkan Ahmed Shafiq - perdana menteri di bawah pemerintahan Hosni Mubarak dalam putaran pemilu pada bulan berikutnya, dengan hampir 52 persen suara, dan resmi mulai menjabat pada 30 Juni 2012.
Presiden sipil pertama
Sebagai presiden, Morsi mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan mengurangi angkatan bersenjata yang sangat kuat di Mesir. Pasalnya, sejak tahun 1952 hingga tahun 2012, setiap pemimpin Mesir adalah anggota militer. Maka, pada bulan Agustus 2012, Morsi memberhentikan pemimpin Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, Marsekal Hussein Tantawi, yang telah menjalankan pemerintahan Mesir setelah Mubarak digulingkan.
Pada bulan November 2012, Morsi mengeluarkan dekrit kontroversial yang menempatkan keputusan presiden atas judicial review (hak uji materil). Di bawah tekanan, ia kemudian menganulir Keputusan itu pada bulan berikutnya.
Setelah menjabat, Morsi mewarisi ekonomi sklerotik, kerusuhan di Semenanjung Sinai, dan pengunjuk rasa yang sering berdemonstrasi, tetapi masalah-masalah itu terus berlangsung di Mesir. Selain itu, pengangguran masih tinggi dan mata uang mesir yang terdepresiasi telah membuat marah banyak warga Mesir, dan pengkritiknya - dari sekuler dan liberal pendukung rezim Mubarak - mereka mengatakan bahwa Morsi telah gagal memenuhi janjinya yang akan memerintah dengan moderat.
Protes yang terjadi di Mesir beberapa kali berubah menjadi tindakan kekerasan, terutama pada bulan Desember 2012 hingga Januari 2013 yang menewaskan hampir 60 orang warga sipil. Sementara itu, industri pariwisata, andalan perekonomian Mesir, telah menderita di tengah pergolakan demokratis.
Minoritas agama seperti Kristen Koptik menjadi tidak percaya kepada Morsi dan legislatif yang didominasi Islam. Mereka menyalahkan pemerintah pimpinan Islamis yang gagal untuk melindungi mereka dari kekerasan sektarian.
Ketidakpuasan dengan Morsi mengkristal menjadi protes massa pada 30 Juni 2013, yang diselenggarakan oleh Tamarod (atau "pemberontak") yang mengkampanye tuntutan mundurnya presiden Morsi. Jutaan orang mengambil bagian dalam demonstrasi, dan sebagai respon demontrasi itu lalu pihak militer mengultimatum Morsi untuk memulihkan stabilitas warga Mesir dalam waktu 48 jam, tapi tidak dapat dipenuhi Morsi hingga batas waktu berakhir pada 14:30 pada tanggal 3 Juli 2013.
Kebijakan luar negeri
Dalam melaksanaan kebijakan Luar Negeri, Morsi pernah mengutuk keras pemerintah Bashar al-Assad di Suriah, dan menyerukan intervensi militer atas nama kelompok pemberontak yang bertempur dalam perang saudara di negara itu. Pada Juni 2013 ia mengumumkan bahwa Mesir akan memutuskan hubungan dengan rezim Assad.
Pada bulan Agustus 2012, Morsi melakukan perjalanan ke Teheran untuk menghadiri KTT Gerakan Non-Blok. Ia menjadi pemimpin Mesir pertama yang melakukan perjalanan ke Iran sejak revolusi 1979. Selanjutnya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad membalas kunjungan itu dengan mengadakan pertemuan bersama Morsi di Kairo pada Februari 2013. (aljazeera.com)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...