Proses Pemindahan Pengungsi Jamaah Muslim Syiah Sampang ke Sidoarjo
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemindahan warga Muslim Syiah dari Gelanggang Olah Raga (GOR) Sampang ke Sidoarjo, dinilai oleh Kelompok Kerja Advokasi Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Pokja AKBB) sebagai tindakan pemaksaan.
Ketua Pokja AKBB, Jatim Akhol Firdaus, menyampaikan proses pemindahan itu yang informasinya dikumpulkan oleh Pokja yang didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) Surabaya, GKI Sinode Jatim, Pusham Unair, JIAD Jatim, GUSDURian Jatim, KPI Jatim, Yayasan Maryam, Sapulidi Surabaya, PMII Jawa Timur, KSGK, dan KPPD Surabaya.
Berikut ini adalah kronologi pemidahan itu yang disampaikan oleh Pokja tersebut.
Rabu, 19 Juni 2013
Pukul 09.00 WIB: Ustad Iklil al-Milal dijemput oleh personel Polres Sampang dan dibawa ke kantor Polres dengan alasan akan dimintai keterangan. Ternyata ketika sampai di Polres, sudah berkumpula Kepala Bakesbangpol, Kepala Dinas Sosial Sampang, dan sejumlah ulama representasi Badan Silaturrahmi Ulama se-Madura (Basra).
Pukul 09.30 – 13.00 WIB: Dalam pertemuan itu, Ust. Iklil dipaksa untuk menandatangani persetujuan untuk direlokasi. Dia bertahan dan menolak semua desakan perwakilan Pemkab dan para ulama. Dia berargumentasi bahwa dirinya tidak bisa mewakili keputusan para pengungsi yang tetap bertekad untuk kembali ke kampung Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang.
Perwakilan Pemkab Sampang mengancam akan mendatangi GOR untuk mendapatkan kesepakatan dengan dalih bahwa pengungsi harus keluar dari GOR hari itu juga karena halaman GOR akan digunakan sebagai tempat Istighosah ulama se-Madura. Ust. Iklil meminta diantar kembali ke GOR dengan alasan sedang puasa dan dalam kondisi tidak sehat.
Pukul 14.00 -17.00 WIB: Kepala Bakesbangpol, Dinsos, dan Wakapolres Sampang mendatangi GOR. Mereka menjemput Ust. Iklil untuk berbicara di luar gedung GOR, tepatnya di tenda UNICEF depan GOR. Di tempat itu Ust. Iklil kembali ditekan untuk mau meninggalkan GOR bersama para pengungsi. Ust. Iklil tetap bertahan pada pendiriannya bahwa dia tidak bisa mewakili pengungsi untuk menerima tekanan keluar dari GOR. Pembicaraan berjalan cukup sengit sampai pukul 17.00 WIB, tanpa ada titik temu.
Sambil meninggalkan GOR, perwakilan Pemkab dan Polres Sampang menyampaikan dengan nada setengah mengancam bahwa, mereka tidak akan bertanggung jawab bila terjadi kekerasan oleh massa yang akan menghadiri acara Istighosah. Mereka akhirnya tetap menekan dan mengintimidasi Ust. Iklil untuk keluar dari GOR sampai pukul 20.00 WIB.
Berdasarkan sejumlah informasi, acara Istighosah diinisiasi oleh Basra dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam selebaran undangan diketahui, acara Istighosah sedianya diadakan di Pamekasan. Namun acara tersebut akhirnya diselenggarakan di depan GOR Sampang.
Pukul 20.00 WIB: Relawan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) tiba di GOR, dan menggali informasi dari pengungsi. Melalui telepon, relawan CMARs mengklarifikasi rencana pengusiran paksa pengungsi kepada Kepala Bakesbangpol Sampang. Sampai tengah malam ketegangan sempat reda karena ada informasi Pemkab tidak jadi memaksa pengungsi untuk meninggalkan GOR Sampang. Besar kemungkinan ini akibat tekanan media dan kecaman dari pelbagai lembaga sipil di Indonesia.
Kamis, 20 Juni 2013
Pukul 09.00 WIB: Wakil Bupati Sampang, Kepala Bakesbangpol Sampang, Kepala Dinsos, Kapolres Sampang, dan Kapolda Jatim mendatangi GOR. Pada saat bersamaan massa mulai berdatangan dengan pelbagai kendaran pickup dan truk. Sekitar 8.000 orang termasuk anak-anak dan perempuan memadati halaman GOR.
Pukul 09.45 – 10.15 WIB: Istighosah dimulai. Diawali dengan orasi Kyai Ali Karrar dalam bahasa Madura. Entah mengapa sang Kyai akhirnya dibujuk untuk menghentikan orasinya oleh perwakilan Pemkab dan diyakinkan sedemikian rupa. Istighosah hanya berjalan sekitar 15 menit, dan sesudah itu dilanjutkan oleh orasi tujuh (7) perwakilan ulama dari Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, dan Sampang. Isi orasi ulama hampir sama yakni, menolak ajaran Ust. Tajul Muluk dan mengharuskan jamaah Syiah keluar dari Madura.
Pada saat massa dan para ulama beristighosah, perwakilan Pemkab bersama Polisi terus menekan Ust. Iklil dan Ummi Kultsum (istri Ust. Tajul Muluk) untuk menandatangani kesediaan direlokasi mewakili pengungsi.
Pukul 11.00 - 11.15 WIB: Meskipun banyak personel Polisi yang berjaga di depan pintu masuk GOR, akan tetapi mereka membiarkan sejumlah orang dari peserta Istighosah merangsek masuk ke GOR. Tujuh (7) ulama yang merupakan representasi Basra dan MUI bahkan dibiarkan masuk ke dalam GOR.
Perwakilan Pemkab, Kapolres Sampang, Kapolda Jatim, bersama dengan ulama terus menekan Ust. Iklil dan Ummi Kultsum agar menandatangani surat kesediaan direlokasi. Para ulama bahkan setengah membentak dan mengintimidasi kedua perwakilan pengungsi tersebut. Ust. Iklil tampak shock dan tidak bisa berbicara, sementara Ummi Kultsum hanya menangis.
Pukul 11.30 – 12.30: Sebagian besar massa malah meninggalkan lokasi GOR, akan tetapi pemerintah, Polisi, dan tujuh ulama tidak berhenti mengintimidasi dan menekan Ust. Iklil dan Ummi Kultsum untuk meneken pernyataan menerima direlokasi. Meski keduanya perwakilan pengungsi sudah tampak shock dan tidak bisa berbicara, tekanan para ulama dan perwakilan Pemkab tidak berhenti.
Sampai akhirnya situasi makin memanas, Ust. Iklil sampai ditarik-tarik tangannya oleh Kyai Ali Karrar. Dalam situasi yang makin keruh, Ust. Iklil sampai pingsan. Menurut keterangan Muhammad Zaini (salah satu pengungsi), ada oknum Satpol PP Sampang yang memukul kepala Ust. Iklil sampai pingsan.
Ust. Iklil akhirnya dibawa oleh personel Satpol PP dan dibawa ke mobil ambulance. Dalam situasi yang makin keruh itu, tekanan tidak mereda. Perwakilan Pemkab, ulama, dan Polisi bahkan dengan keras menyampaikan bahwa pengungsi tetap harus direlokasi meskipun mereka tidak mau tanda tangan.
Pukul 12.30 – 14.00 : Perwakilan Pemkab dan Polisi akhirnya memaksa pengungsi untuk segera berkemas. Bus dan truk pengangkut sudah disiapkan oleh Polisi. Ust. Iklil sudah dibawa terlebih dahulu dengan mobil ambulance menuju rumah susun Pasar Puspa Agro, Sidoarjo. Di lokasi inilah Pemkab Sampang dan Pemprov Jatim sudah berbulan-bulan yang lalu merencanakan sebagai tempat relokasi pengungsi Syiah.
Tepat 14.30 WIB: Semua pengungsi akhirnya diangkut dengan dua bus dan tiga truk polisi, dan dikawal dengan tiga mobil patroli menuju Pasar Puspa Agro, Sidoarjo. Tidak kurang dari 168 pengungsi diusir paksa dari GOR, benteng pertahanan terakhir mereka sesudah kampung dan rumah mereka dibakar massa anti-Syiah pada 26 Agustus 2012 yang lalu.
Pukul 18.35 WIB: Rombongan pengungsi tiba di Pasar Puspa Agro. Di tempat ini, masalah semakin menumpuk. Berdasarkan laporan relawan CMARs, di rumah susun Puspa Agro masih ada penghuni lama yang tidak mau pindah. Alasannya mereka mendapat informasi akan dipindahkan ke Gedung baru sore hari. Diperkirakan butuh 71-75 kamar untuk para pengungsi, sementara penghuni lama belum mau dipindahkan.
Biaya setiap kamar berkisar antara Rp. 220.000 – Rp 300.000. Sekadar catatan, rumah susun ini sudah dikelola oleh pihak swasta, dan sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah soal siapa yang akan menanggung biasa sewa rumah susun yang ditempati pengungsi.
Menurut informasi penghuni lama, biaya air dan listrik juga sangat mahal, bahkan lebih mahal dari biaya sewanya. Di tempat baru ini, para pengungsi berpotensi diusir sewaktu-waktu oleh pengelola rumah susun bila soal administrasi tersebut tidak bisa diselesaikan.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...