Proyek Kereta Gantung Yerusalem Tunggu Persetujuan Netanyahu
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM - Sebuah rencana kontroversial Israel untuk membangun kereta gantung ke Kota Tua yang bersejarah di Yerusalem telah melewati hambatan besar dan kini tinggal menunggu persetujuan pemerintah.
Komite Infrastruktur Nasional hari Senin (3/6) menolak petisi yang menentang pembangunan kereta gantung itu, sehingga memberikan lampu hijau pada proyek yang diributkan itu.
Proyek sekitar 55 juta dolar itu, yang dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata, kini memerlukan persetujuan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Kereta gantung itu akan mengangkut para turis dari komplek sasiun kereta yang baru direnovasi di bagian barat Yerusalem ke Kota Tua di bagian timur.
Rutenya akan melewati lembah hijau dan tembok-tembok ikonik kota itu. Proyek itu telah menghadapi protes keras dari penduduk Palestina, aktivis lingkungan, perencana tata kota, arsitek, kelompok-kelompok minoritas agama dan lain-lain.
Netanyahu Gagal Membentuk Pemerintah Koalisi
Sebelumnya Parlemen Israel, Kamis pagi (30/5), memutuskan untuk membubarkan diri dan melangsungkan pemilu dini untuk kedua kalinya setelah PM Benjamin Netanyahu gagal membentuk pemerintah koalisi.
Parlemen memutuskan-- dengan suara 74 setuju banding 45 menentang --untuk membubarkan diri dan menyelenggarakan pemilu baru pada 17 September.
Netanyahu gagal memenuhi tenggat waktu Rabu (29/5) untuk membentuk pemerintah baru setelah memenangkan pemilu 9 April lalu. Ia tadinya berharap bisa membentuk koalisi antara Partai Likud-nya yang konservatif dan para legislator yang ultra-Orthodoks serta sebuah blok konservatif lain yang dipimpin mantan menteri pertahanan Avigdor Lieberman.
Namun negosiasi berantakan setelah Netanyahu dan kelompok ultra-Orthodoks menolak untuk memenuhi tuntutan Lieberman agar para Yahudi yang ultra-relijius juga direkrut militer Israel dan mengabdi kepada negara seperti yang diharuskan kepada para pria dan perempuan muda Israel lainnya.
Kelompok-kelompok Yahudi yang ultra-ortodoks menganggap wajib militer merupakan pelanggaran terhadap keyakinan agama mereka, karena khawatir bahwa dinas militer akan memicu sekularisasi. Pengecualian wajib militer ini banyak dikecam kelompok-kelompok Yahudi Israel lainnya.
Pemimpin oposisi Benny Gantz yang kalah dari Netanyahu pada pemilu April dan kemungkinan akan memiliki kesempatan untuk membentuk pemerintah jika parlemen tidak dibubarkan, dengan marah menuduh Netanyahu lebih mementingkan agenda politiknya pada masa depan ketimbang apa yang sangat dibutuhkan negara saat ini.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...