PRPrG PGI: Saatnya Perempuan Gereja Berkata “Jangan”
TELUK DALAM, SATUHARAPAN.COM – Pdt Nurcahaya Gea menegaskan bahwa perempuan harus berani berkata, “Jangan,” pada tradisi yang merendahkan perempuan dalam adat maupun keseharian. Ini ia sampaikan pada sesi Penelaahan Alkitab Pertemuan Raya Perempuan Gereja, Jumat (7/11).
Pdt Retno Ratih Suryaning Handayani utusan Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa dari GKJ Manahan Surakarta menuliskannya langsung dengan sabak digital di lokasi. Berikut tulisan dia.
“Jangan memanjat pohon, tidak pantas itu dilakukan oleh perempuan!” “Jangan bekerja di luar sampai larut malam, nanti jadi omongan tetangga!” “Jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti toh hanya ngurus suami dan anak.” Masih banyak larangan: jangan, jangan dan jangan lainnya yang ditujukan kepada perempuan. Ya, memang dalam masyarakat masih ada banyak pembatasan dan larangan yang ditujukan untuk perempuan. Ada banyak hal yang dianggap tabu dan tidak pantas dilakukan oleh perempuan karena mereka adalah perempuan.
Sangat menarik merefleksikan bahan Pemahaman Alkitab (PA) pada Jumat dalam Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) Pra-SR XVI yang dipimpin oleh Pdt Nurcahaya Gea, MTh. Perikop yang diambil dari Lukas 1: 57 -66. Dalam perbincangan PA ini, kata “jangan” bukan ditujukan untuk perempuan, tetapi justru dikatakan akan oleh Elizabet istri Zakharia.
Perikop ini menuturkan kelahiran Yohanes. Sebagaimana tradisi kuno Israel. Ketika anak lahir tidak segera diberi nama. Ada upacara harus digelar. Pemberian nama ini bersamaan dengan upacara sunat, pada hari ke delapan setelah kelahiran.
Sesuai dengan tradisi yang berlaku juga, anak bisa diberi nama sesuai dengan nama bapaknya. Artinya, anak Elizabet harus diberi nama Zakharia. Namun Elizabet dengan terang-terangan menolak pemberian nama sesuai tradisi yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi.
Elizabet mengatakan di depan keluarga besarnya: “Jangan, ia harus dinamai Yohanes”. Sebuah pernyataan yang mengejutkan keluarga besar yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan tradisi masyarakat setempat. Ya, memang pernyataan Elizabet ini mengejutkan karena ini merupakan gugatan terhadap tradisi yang sudah mapan. Dan, dilakukan oleh perempuan.
Tindakan Elizabet ini merupakan bentuk membalikkan kemapanan yang ada. Biasanya perempuanlah yang menerima perintah “jangan”. Artinya, ada pihak lain yang menentukan, dan perempuanlah yang ditentukan. Dari Elizabet yang terjadi justru berbeda. Dialah yang menentukan. Dialah yang harus didengar.
Kata “jangan” tidak lagi sebuah kata yang hanya ditujukan pada perempuan, namun perempuan pun juga bisa berkata “jangan” kepada orang lain. Kebenaran Elizabet berkata “jangan” rupanya didorong pada panggilan untuk menyatakan pekerjaan Allah.
Saat ini perempuan gereja di Indonesia sedang berkumpul dalam acara Pra-Sidang Raya XVI PGI. Melalui pertemuan saat ini banyak perempuan menyuarakan, “Jangan perlakukan perempuan dan laki-laki dengan cara yang berbeda,” “Jangan halangi kami untuk mengaktualisasikan diri secara penuh,” “Jangan labeli kami sebagai makhluk yang lemah,” “Jangan halangi kami untuk maju” dan seterusnya. Ini adalah seruan yang didengungkan para perempuan untuk kehidupan yang lebih bermartabat dengan demikian pekerjaan Allah dinyatakan.
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...