PSI: Masyarakat Bayar Mahal Air Akibat Swastanisasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Public Service International (PSI) menyebutkan swastanisasi air mengakibatkan masyarakat harus membayar tarif mahal untuk air. Pendapat itu disampaikan PSI di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam persidangan pembuktian pelanggaran hak warga negara atas air pada Selasa (15/4).
Lembaga yang berpusat di Prancis dan berdiri sejak 1907 ini dihadirkan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) untuk memberikan pendapatnya.
Project Coordinator PSI Jasper Goss menilai perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penyediaan air bertujuan hanya mengeruk keuntungan berlipat-lipat.
“Perusahaan-perusahaan trans nasional dapat menghindari pembayaran pajak. Bahkan pajak di negara mereka sendiri melalui struktur kepemilikan yang sangat kompleks dan melalui transfer pembayaran antar perusahaan. Melalui swastanisasi kami melihat korupsi dan kurangnya transparansi,” kata Jasper Goss.
Lanjutnya,”Saya juga menyaksikan masyarakat miskin itu tidak dapat meperoleh air ketika mereka tidak mampu membayar tagihan air itu.”
Perusahaan yang berinvestasi di sektor air di satu kota atau satu negara di dunia dinilainya tidak peduli mengenai negara itu. “Karena (mereka) memiliki pelbagai kepentingan. Setiap kepentingan mereka, maksimalisasi keuntungan.”
Jasper Goss mencontohkan perusahaan-perusahaan mengambil alih kekuasaan pelayanan publik atas air di Ivory Coast, Papua Nugini, Senegal, Bolivia, dan Filipina. Kemudian menaikkan harga air lebih cepat dari pelbagai inflasi.
Di Maroko, kontrak mengenai air ini diberikan tanpa melalui lelang. Di Afrika Selatan waktu wabah kolera terjadi maka kebutuhan air bersih menjadi penting. Tetapi, perusahaan swasta yang menguasai air tetap tidak memberikan masyarakat memperoleh air. Sementara di Dar es Salam Tanzania ketika terjadi kontrak swastanisasi air kemudian daerah-daerah yang miskin tidak mendapatkan air.
“Sebetulnya ada masalah mendasar mengenai kesehatan dialami ketika masyarakat tidak dapat menjangkau air. Kami melihat ada pekerjaan yang hilang karena swastanisasi air. Para perempuan tidak bisa lebih maju dalam sektor ini. Masyarakat berpendapatan rendah menunggak tagihan air.”
Disebutkannya dampak swastanisasi air tidak meningkatkan atau memberikan kemungkinan masyarakat memperoleh air yang siap dan aman diminum.
“Kami melihat juga swastanisasi air karena ada tekanan dari luar dan itu disebabkan pinjaman dari badan seperti Bank Dunia atau IMF,” kata Jasper Goss di persidangan.
Ideologi Anti Masyarakat di Balik Swastanisasi Air
Jasper Goss menyebutkan di persidangan tentang keberadaan sejumlah lembaga, kelompok, atau perusahaan yang tidak memiliki kepentingan atau minat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas air. Mereka hanya berpikir tentang industri pengalihan aset, yaitu mengalihan pengelolaan air dari negara ke sektor swasta. Hal ini mengakibatkan ketidaktersediaan air bagi orang miskin.
“Mereka sangat mengkhususkan diri dalam mengambil uang atau membebankan biaya tinggi dengan swastanisasi ini. Mereka melobi pemerintah untuk melakukan swastanisasi dan mereka mengambil persentase ketika ada aset yang dijual. Tujuannya hanya satu, semata-mata untuk mengambil keuntungan dengan adanya swastanisasi ini. Tidak ada kontribusi sosial terhadap penyediaan air ini. Juga ada ideologi anti publik yang sangat dominan. Terutama di Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, perusahaan trans nasional seperti Nestle, yang mengatakan negara itu tidak efisien. Pasar dan perusahaan dapat memberikan jalan keluar atas masalah air melalui persaingan dan inovasi.”
Disebutkan Jasper Goss bahwa konsep swastanisasi telah diubah sejak 10 tahun lalu. “Mereka tidak lagi mengatakan sebagai swastanisasi air, tetapi kemitraan Pemerintah dan swasta. Hal ini terjadi karena Bank Dunia mengakui swastanisasi yang dijalankan secara murni itu telah gagal. Walau pun swastanisasi air tetap ada berdasarkan kondisi yang sudah direvisi ini dan dipromosikan Bank Dunia, kami melihat masalah-masalah yang besar.”
Perusahaan-perusahaan trans nasional yang mengelola air memiliki pengalaman internasional. Mereka memasukkan kontrak-kontrak yang sangat kompleks sementara Pemerintah nasional dan daerah yang memiliki pengalaman terbatas. Perusahaan-perusahaan trans nasional ini menghapus semua resiko atas perusahaan yang mengakibatkan kerugian investasi. Semua kerugian investasi dibebankan kepada Pemerintah. Pada akhirnya pembiayaan Pemerintah tidak berkurang pembiayaan walaupun sudah menswastanisasi air.
“Perusahaan menghindari resiko-resiko itu dan membebankan wajib pajak dan negara untuk membayarnya,” kata Jasper Goss.
Tren Penghentian Kontrak Air
Jasper Goss menyebtukan terjadi tren meningkat terkait penghentian kontrak air dengan swasta. Lembaganya, PSI, menemukan 81 kasus penghentian kontrak air di sejumlah negara.
“78 di antaranya terjadi dalam 13 tahun terakhir. Dari 81 ini, 47 terjadi di negara dengan pendapatan tinggi dan 34 di negara berkembang. Peningkatan penghentian kontrak air terjadi dalam 4 tahun belakangan ini. Dari 2009 sampai sekarang penghentian kontrak air meningkat 2 kali lipat.”
Perancis merupakan negara yang paling banyak penghentian kontrak air. Terjadi 21 penghentian kontrak air dan 15 di antaranya terjadi dalam empat tahun terakhir. Penghentian kontrak air yang sangat tinggi juga terjadi di Buenos Aires Argentina, La Paz Bolivia, Johannesburg Afrika Selatan, dan Dar es Salam Tanzania.
“Terjadi tren penghentian kontrak air baik di Utara maupun di Selatan. Karena di pelbagai negara di dunia ini sebetulnya memiliki hak konstitusi meperoleh air.”
Di Kolombia, negara itu bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat dan sanitasi. Warga negaranya harus mendapatkan akses pelayanan, melindungi, dan merehabilitasi kesehatan masyarakat.
Konstitusi Uruguay menegaskan akses air minum dan sanitasi merupakan hal mendasar dalam hak asasi manusia.
Belanda pada 2004 mengeluarkan ketentuan bahwa swastanisasi air dilarang. Parlemen Belanda pada 2008 menegaskan kebutuhan akan air adalah hak asasi manusia.
Di Italia pada 2011 digelar referendum mengenai air. Ada 90 persen suara menyatakan pengelolaan air oleh swasta itu ilegal. Sementara ada 95 persen suara menyatakan menarik keuntungan dari ketersediaan air itu ilegal.
Di Berlin Jerman, swastanisasi air berlangsung pada 1999. Kontrak swastanisasi air dibuat rahasia. Tidak ada akuntabiitas pubik. Tetapi setelah referendum pada 2011 hal itu dibuat transparan. Masyarakat Berlin waktu itu meminta tarif air diturunkan 19 persen. Pada 2012, swastanisasi air diambil alih Pemerintah Berlin karena desakan masyarakat.
Kontrak dan suplai air dengan pihak swasta di Budapest Hongaria berakhir pada 2012. Padahal kontrak berakhir sebenarnya pada 2022. Tetapi ketika kontrak dan suplai air diakhiri maka seluruh pengelolaan air 100 persen dimiliki Pemerintah.
Di Selangor Malaysia terjadi reformasi sektor air. Pengelolaan oleh swasta dikembalikan kepada Pemerintah.
Kasus Kontrak dan Swastanisasi Air di Jakarta
Jasper Goss berpendapat kontrak air dengan pihak swasta di Jakarta harus dibatalkan. Pengelolaannya dikembalikan kepada negara.
Perwakilan PSI ini menyebutkan penting dan mutlaknya pemenuhan kebutuhan air sebagai bagian dari prinsip dasar hak asasi manusia. “Air sangat perlu untuk kesejahteraan, kelangsungan hidup manusia, dan pertumbuhan yang baik untuk anak-anak aman.”
Jasper Goss menyebutkan pengelolaan air harus dilandasi pada tiga prinsip. Yaitu prinsip sosial, lingkungan, dan ekonomi.
“Jika (Pemerintah) Jakarta ingin memberikan hak asasi manusia akan air bersih maka tiga prinsip ini harus diterapkan. Melalui manajemen yang berpartisipasi dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pembuatan keputusan. Memikirkan investasi untuk membangun infrastruktur sarana prasarana yang baru untuk memastikan air minum yang aman dan bersih. Juga memastikan pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis dalam bidang air sehingga secara besar mengurangi potensi korupsi,” pungkasnya.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...