PSSI vs Kemenpora, Media Harus Netral
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Media harus netral dalam menyikapi masalah persepak bolaan di Indonesia saat ini, karena ada baiknya media melihat sisi positif dan negatif dari efek memberitakan kemelut Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
“Dalam kemelut sepak bola (PSSI vs Kemenpora) yang memanas saat ini, media harus memberitakan secara berimbang dan tidak saling menyudutkan, kedua belah pihak sebenarnya berbuat yang terbaik untuk kemajuan sepak bola Indonesia,” kata Sumohadi Marsis, jurnalis olahraga senior pada Keterangan Pers KONI Pusat dan Media Tentang SEA Games 2015 dan Asian Games 2018, di Gedung KONI Pusat, Kamis (7/5).
Sumohadi Marsis adalah seorang wartawan yang berkecimpung di bidang olahraga lebih dari 30 tahun, dia lebih menyenangi kritik terhadap sepak terjang olahraga karena memang untuk membangun olahraga di Indonesia. Sumohadi Marsis dahulu merupakan wartawan Kompas, dan pada era-1980an dia bersama dengan beberapa wartawan olahraga lainnya di Kompas dia mendirikan tabloid Bola.
Dia secara pribadi tidak ingin terlalu banyak ikut campur dalam kasus “pembekuan” PSSI, yang notabene akan menanti sanksi dari Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA), namun dia berpendapat bahwa kedua belah pihak harus introspeksi dan memperbaiki diri.
Kritisi Kemenpora
Sumohadi menyebut bahwa Kemenpora dengan membentuk tim sembilan dan sekarang tim transisi kepemimpinan PSSI sebenarnya di satu sisi baik, akan tetapi mengancam siklus olahraga Indonesia, karena ada kesenjangan perhatian dalam cabang olahraga.
“Menpora harus adil memberi perhatian, sekarang dia (Menpora Imam Nachrawi) bisa saja membekukan PSSI, tetapi dia juga harus paham bahwa masih banyak cabang olahraga lain yang juga butuh penanganan dan perhatian dari orang nomor satu di bidang olahraga di Indonesia itu. Bisa saja dia terus serius membekukan PSSI, tetapi di sisi lain cabang bulu tangkis, terus berkuda, dan cabang olahraga lain yang nanti masuk SEA Games kan banyak, ini tidak hanya soal sepakbola, tetapi kemajuan olahraga Indonesia secara keseluruhan,” kata Sumohardi.
Sumohadi menambahkan bahwa prestasi olahraga jangan dilupakan, karena Indonesia di SEA Games 2011 hingga 2013 dan kini menatap 2015 di Singapura layaknya yoyo yang naik turun, namun bukan memberi efek baik tetapi buruk bagi masyarakat pencinta olahraga.
“Sekarang kalau PSSI dibekukan itu terus yang main sepakbola bagaimana, karena seharusnya sekali liga (kompetisi Indonesia Super League) dimulai harus jalan terus. Ini adalah soal harga diri Indonesia, kalau kompetisi di tengah jalan berhenti, yang rugi kita, tetapi yang untung adalah bandar judi sepakbola,” Sumohadi menambahkan.
Kritisi PSSI
Bagi PSSI, Sumohadi mencatat bahwa sebaiknya ada perbaikan diri di dalam, karena PSSI harus menciptakan kompetisi yang profesional, dan bermutu. “Ini demi aspek profesionalisme, dan sportifitas di sepak bola kita, ini jangan disepelekan,” kata Sumohadi.
Dia menyorot PSSI dan PT. Liga Indonesia terlalu toleran karena masih banyak klub dengan persyaratan administratif yang kacau balau namun dibiarkan saja bertanding. “Kalau kompetisi berhenti dikahwatirkan berimbas ke media, dan akan buruk citra di masyarakat karena dikahwatirkan akan ada polarisasi di media,” dia menambahkan.
Polarisasi di media, dia mendefinisikan sebagai ada media yang berpihak ke Kemenpora saja dan tidak mengambil berita dengan bobot yang konstruktif, sementara ada media yang menyoroti PSSI dan klub peserta liga saja. Dia mengkhawatirkan akan timbul dua kutub seperti saat konflik PSSI dan KPSI (Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia), saat itu ada Liga Super Indonesia dan Liga Primer Indonesia, lebih parah lagi ada dua tim nasional Indonesia.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...