Putri Mantan Presiden Iran Akan Boikot Pemilu
TEHERAN, SATUHARAPAN.COM-Putri dari salah satu tokoh pendiri pemerintahan ulama Iran mengatakan bahwa dia akan memboikot pemilihan presiden yang akan datang, dengan alasan kurangnya kepercayaannya pada reformasi dalam pemerintahan.
Faezeh Hashemi, seorang advokat hak-hak perempuan dan mantan anggota parlemen mengatakan dalam percakapan virtual di aplikasi obrolan audio Clubhouse bahwa dia tidak akan memberikan suara dalam pemilihan presiden Iran. Itu, katanya dikutip Al Arabiya, akan dilakukan bahkan jika saudara laki-lakinya sendiri, ketua dewan kota Teheran dan calon presiden potensial, Mohsen Hashemi-Rafsanjani, akan mencalonkan diri.
Diskusi Clubhouse dengan Hashemi berlangsung selama enam jam, dengan lebih dari 10.000 orang Iran mendengarkan di dalam dan di luar negeri.
Ayah Hashemi adalah mantan presiden, Akbar Hashemi-Rafsanjani, dan salah satu tokoh pendiri rezim ulama Iran. Dia memainkan peran kunci dalam membawa Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei ke tampuk kekuasaan. Dia meninggal pada tahun 2017.
Hashemi mengatakan dia akan memboikot pemilu karena gerakan "reformis" di Iran telah "menemui jalan buntu." Dia juga mengatakan keputusan I tu sebagai protes terhadap para reformis karena telah meninggalkan cita-cita reformis agar tetap berkuasa.
Dia menambahkan bahwa dia terbuka untuk berubah pikiran jika seorang kandidat yang berkomitmen pada cita-cita itu ingin mencalonkan diri.
Hashemi adalah kritikus blak-blakan terhadap rezim di Iran. Dia dipenjara selama enam bulan pada tahun 2012 karena "menyebarkan propaganda anti negara."
“Kewajiban Agama”
Iran akan mengadakan pemilihan presiden pada 18 Juni, dan beberapa pejabat senior Iran telah menyatakan keprihatinannya atas partisipasi pemilih yang berpotensi rendah. Sementara rezim menganggap jumlah pemilih penting untuk legitimasinya di panggung internasional.
Khamenei di masa lalu mengatakan bahwa memilih adalah "kewajiban agama," dan bahwa orang harus berpartisipasi dalam pemilihan karena "cinta" pada negara mereka, bahkan jika mereka tidak menyukai pemimpin tertinggi secara pribadi.
Oposisi Iran biasanya mendesak Iran untuk memboikot pemilu, dengan alasan bahwa pemilu tidak membawa perubahan dan hanya berfungsi untuk melegitimasi rezim. Keyakinan ini sebagian disebabkan oleh proses pemeriksaan kandidat Iran, di mana hanya kandidat yang disetujui oleh rezim yang dapat mencalonkan diri dalam pemilihan.
Pemilu di Iran "tidak memenuhi standar demokrasi karena pengaruh Dewan Pengawal garis keras, sebuah badan yang tidak dipilih yang mendiskualifikasi semua kandidat yang dianggap tidak cukup setia kepada pemerintahan ulama," kata kelompok pengawas demokrasi Amerika Serikat, Freedom House di Iran dalam laporan tahun 2021.
Orang Iran Menyalahkan Rezim
Rakyat Iran menganggap pemerintah mereka sendiri, bukan Amerika Serikat, yang bertanggung jawab atas masalah mereka, kata Hashemi di bagian lain dari diskusi virtual. Dia menambahkan bahwa kebijakan Teheran sendiri yang harus disalahkan atas sanksi yang dijatuhkan pada negara tersebut.
"Kami mendapat sanksi karena kebijakan agresif kami sendiri... Uang kami dihabiskan untuk rudal dan membantu (milisi asing) daripada untuk obat-obatan yang dibutuhkan rakyat kami," kata Hashemi.
“Orang tidak menyalahkan (mantan Presiden AS, Donald) Trump atas sanksi, mereka menyalahkan pemerintah mereka sendiri.”
Pada bulan Januari, Hashemi diserang, terutama oleh para pendukung rezim, karena mengatakan masa jabatan kedua untuk Trump akan bermanfaat bagi Iran. “Untuk Iran, saya ingin melihat Trump (kembali) terpilih. Tetapi jika saya orang Amerika, saya tidak akan memilih Trump," kata Hashemi dalam wawancara dengan situs berita Iran.
Hashemi mengatakan dia mendukung kampanye "tekanan maksimum" pemerintahan Trump melawan rezim di Teheran. “Mungkin jika tekanan Trump terus berlanjut, kami akan dipaksa untuk mengubah beberapa kebijakan. Dan perubahan itu pasti menguntungkan masyarakat,” katanya.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...