Putus Kerjasama dengan JPMorgan, RI Dianggap Antikritik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dukungan dari dalam negeri mengalir deras kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang menghentikan kerjasama dengan lembaga keuangan global, JPMorgan Chase Bank, N.A. Penghentian kerjasama tersebut menyusul hasil riset negatif mereka tentang Indonesia, yang antara lain menurunkan peringkat surat utang pemerintah menjadi underweight.
Namun, langkah itu telah memunculkan rasa cemas pada analis independen di mancanegara. Mereka menganggap langkah Indonesia itu berlebihan, mencerminkan sikap antikritik bahkan sebuah reaksi rasa panik.
Langkah Kemenkeu yang memutus kerjasama dengan JPMorgan yang dikaitkan dengan hasil riset mereka, dipandang sebagai langkah pembalasan, padahal adalah kewajiban perusahaan seperti JPMorgan untuk melakukan riset sebagai pelayanan kepada klien.
"Itu membuat saya tidak nyaman ketika saya melihat pemerintah berusaha untuk mempengaruhi analis independen," kata Win Thin, kepala strategi mata uang emerging market di bank investasi Brown Brothers Harriman, sebagaimana dilansir dari Gant News, sebuah situs berita afiliasi CNN.
"Indonesia berkulit sangat tipis melakukan hal itu dan sedikit konyol. Ini menunjukkan betapa pembuat kebijakan demikian sensitif, "kata dia.
Riset JPMorgan yang membuat marah pemerintah adalah yang diterbitkan pada 13 November, dimana JPMorgan menurunkan rating RI menjadi underweight dari overweight. Pemerintah RI menuduh bahwa hasil riset ini tidak kredibel dan mengganggu stabilitas keuangan Indonesia.
Dalam riset itu, JPMorgan memandang perekonomian RI akan mengalami dampak negatif dari kemenangan Donald Trump. "Ada pecundang dari Trumponomics," laporan itu memperingatkan.
Pada bagian lain risetnya, JPMorgan juga mengungkapkan kekhawatiran tentang Indonesia sejalan dengan meningkatnya tekanan sosial di Jakarta. Hal ini terkait dengan aksi unjuk rasa sehubungan dengan isu penistaan agama.
Namun, reaksi Indonesia dianggap berlebihan, karena riset JPMorgan sesungguhnya tidak melulu negatif. Ada beberapa pernyataan yang positif, yang mengatakan adanya peningkatan, dan bahwa investor akan "mendapatkan kesempatan membeli yang lebih baik."
Para analis mengatakan penurunan rating Indonesia disebabkan oleh kombinasi dari kemenangan Trump dan naiknya suku bunga AS, yang cenderung merugikan pasar negara berkembang.
Seperti pasar negara berkembang lainnya, Indonesia terpukul setelah kemenangan Trump. Indeks MSCI Indonesia anjlok sebanyak 12 persen setelah pemilu AS. Namun, saham-saham Indonesia bangkit kembali dan kini sudah berada di level yang hanya lima persen di bawah level ketika hari pilpres di AS.
Secara keseluruhan, pasar modal Indonesia meningkat 12 persen tahun 2016, lebih tinggi dari pasar modal di negara sedang berkembang umumnya. "Saya tidak tahu mengapa Indonesia begitu gugup. Kinerjanya sebenarnya cukup baik," kata Thin.
Menurut Financial Times, peringkat surat utang dan proyeksi ekonomi pada tahun-tahun terakhir menjadi masalah bagi pemerintah, perbankan dan lembaga rating.
Pada tahun 2013, Standard & Poor's menuduh Departemen Kehakiman AS melakukan pembalasan kepada mereka karena menurunkan peringkat AS menjadi AAA pada Agustus 2011. Ketika itu Departemen Kehakiman AS melakukan tuntutan hukum senilai US$ 5 miliar terkait pemeringkatan surat utang.
Pada tahun 2014 HSBC ditekan untuk menyesuaikan hasil risetnya dalam sebuah laporan yang menurunkan prospek ekonomi Hong Kong menjadi "underweight". Pada mulanya, laporan HSBC menyebut gelombang protes politik sebagai alasan utama untuk downgrade. Beberapa jam kemudian, setelah menerima kritik di Twitter dan di media sosial lainnya, bank tersebut memindahkan gelombang protes itu ke urutan paling bawah sebagai alasan melakukan downgrade.
"Lingkungan saat ini jauh lebih buruk," kata Andy Xie, ekonom independen, membandingkan keadaan tahun 2006, ketika ia memimpin riset ekonomi di Morgan Stanley untuk Asia di Singapura.
"Begitu banyak kelebihan kapasitas dalam industri. Bank tidak memiliki insentif untuk menghargai penelitian independen," kata Xie. Ia meninggalkan posisinya di lembaga keuangan AS itu setelah sebuah memo internal yang bocor berisi komentar yang meremehkan tentang Singapura.
Gurubesar emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution, termasuk yang menganggap reaksi Indonesia memutus kontrak JPMorgan sebagai tidak tepat.
"Pemutusan kontrak Kementerian keuangan dengan JPMorgan bagai menembak dokter karena ia bilang Anda sakit," kata Anwar, membuat perumpamaan.
Menurut Anwar, apa yang dikatakan JPMorgan tentang gangguan pada stabilitas politik dalam risetnya, tidak keliru bahkan didasarkan pada fakta.
"Dua kali demo FPI mencerminkan adanya gangguan pada stabilitas politik kita. Dua hari kerja hilang di Jakarta dengan ongkos pengamanan yang mahal," tutur Anwar, melalui pesan singkat kepada satuharapan.com.
Langkah memutus kontrak dengan JPMorgan, menurut dia, membuat Indonesia 'ditertawakan' orang di pasar keuangan internasional.
"Perbaikilah sistem hukum dan sosial yang merusak rating itu. Hukum berlaku bagi semua warga negara secara adil tanpa melihat suku, ras maupun agama," kata Anwar.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...