Putusan MK Dinilai Permudah Calon Independen Ikut Pilkada
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Lukman Edy, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan persyaratan pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan.
MK mengatur syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah.
"Implikasi keputusannya memang meringankan syarat calon independen, artinya MK secara substansial mendorong calon independen ikut mencalonkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Artinya semakin membuka peluang calon independen untuk maju," kata Lukman Edy, kepada sejumlah wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Rabu (30/9).
Menurut dia, Komisi II DPR RI akan segera merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk menindaklanjuti putusan MK itu. Namun, revisi tidak akan dilakukan terburu-buru, karena MK sudah menegaskan bahwa putusan ini baru berlaku pada Pilkada 2017 mendatang.
"Putusannya cukup moderat dan bisa diterima," ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Lukman menjelaskan, pihaknya sebenarnya sengaja memperberat syarat calon independen sebagai bentuk konsolidasi demokrasi. Tidak hanya calon independen, tapi juga calon dari partai politik syaratnya diperberat dengan dinaikkan 5 persen. Namun, jika MK akhirnya mengubah ketentuan itu dan mempermudah calon independen untuk maju, maka Komisi II DPR RI akan mengikutinya.
"Nanti kita simulasikan dengan syarat sekarang berdasarkan jumlah DPT, berapa KTP yang perlu disetor. Kalau sedikit sekali tidak imbang dengan syarat dari parpol, akan kita sesuaikan," ujar Lukman.
Putusan MK
MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang diajukan oleh Fadjroel Rachman, Saut Mangatas, dan Victor Santoso dengan mengubah aturan persyaratan pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan. MK mengatur syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan didasarkan pada jumlah keseluruhan penduduk," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, hari Selasa (29/9).
Dalam pertimbangannya, hakim menilai Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota telah mengabaikan prinsip keadilan sehingga mengabaikan semangat kesetaraan di hadapan hukum.
Menurut MK, persentase syarat dukungan tidak dapat didasarkan pada jumlah penduduk, karena tidak semua penduduk punya hak pilih.
"Keterpilihan kepala daerah bukan ditentukan jumlah penduduk keseluruhan, tapi yang sudah punya hak pilih," kata Hakim MK.
Selain itu, meski tidak bisa dikatakan diskriminatif, Pasal 41 ayat 1 dan 2 dinilai menghambat seseorang memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan. Persyaratan perseorangan berbeda dengan syarat calon yang didukung parpol, di mana syarat pencalonan ditentukan melalui perolehan suara berdasarkan daftar pemilih tetap.
Dengan demikian, bunyi pasal tersebut harus dimaknai jumlah penduduk yang sudah memiliki hak suara yang tetap.
Meski begitu, putusan tersebut tidak berlaku pada pilkada serentak 2015 yang tahapannya telah berjalan. Putusan tersebut mulai berlaku pada pilkada serentak gelombang kedua, pada 2017.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...