PWI Papua Barat Sebarkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Papua Barat menyosialisasikan pedoman baru Dewan Pers tentang Pemberitaan Ramah Anak.
Ketua PWI Papua Barat, Bustam ST pada kegiatan yang digelar di Manokwari, Rabu (6/3), mengatakan, Dewan Pers telah mengeluarkan pedoman baru tentang penulisan kasus-kasus kekerasan anak. Hal ini menyusul nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kementerin Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Itu dalam rangka mendorong pemberitaan ramah anak dalam kasus kekerasan yang melibatkan anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku. Ini sebagai bagian dari upaya melindungi anak dari sanksi sosial.
"Di Papua Barat selama ini masih agak yang riskan dalam hal penulisan berita terkait kasus-kasus anak. Maka jurnalis hingga pemimpin redaksi harus memahami," kata Bustam.
Wartawan sudah memiliki aturan tentang kode etik jurnalis. Pedomen yang baru diterbitkan ini untuk mempertegas dalam rangka melindungi anak dalam pemberitaan.
"Terkait pemberitaan ini, ada sanksi pidana. Pers wajib melindungi anak dalam penyajikan informasi baik berupa tulisan maupun gambar," kata Bustam lagi.
Ketua Dewan Kehormatan PWI Papua Barat, Key Tokan Abdul Asis pada kesempatan itu mengatakan, Pimred memikiki tanggung jawab besar atas berita yang dipublikasi kantor media masing-masing. Maka Pimred dan redaktur harus memahami pedoman ini.
"Dalam hal perlindungan anak, dulu kita hanya lindungi korban, tapi yang terbaru anak dilindungi baik dia sebagai korban, saksi maupun pelaku," sebut Asis.
Menurutnya, pedoman ini sangat mendesak bagi insan pers, pemerintah maupun Kepolosian, mengingat tiga elemen ini berpotensi melakukan kesalahan.
Selain nama, lanjut Asis, alamat korban maupun pelaku tidak boleh disebut. Paling rendang tingkat kecamatan atau distrok dengan cacatan di wilayah tersebut ada Polsek.
"Tidak boleh juga mengkonfirmasi keluarga, karena dengan menyebut nama keluarga entah ayah, ibu, paman tante sebagai narasumber maka publik akan tahu," katanya.
Butir-butir pedoman pemberitaan ramah anak yang disosialisasikan pada kegiatan tersebut yakni,
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, di edit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkap.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata hanya dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). (ANTARA)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...