Quo Vadis Amerika?
Amerika akan menghadapi pemilu November nanti dengan dua kandidat utama: Donald Trump dan Hillary Clinton. Keduanya adalah pilihan yang sulit dan akan berdampak besar bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
SATUHARAPAN.COM - Pemilihan umum di negeri Paman Sam tahun ini cukup seru dan penuh kejutan. Tidak heran hampir semua mata dunia sedang tertuju ke sana. Apalagi sudah mengerucut ke dua calon utama: Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik. Mereka adalah presumptive nominees yang akan maju ke general election bulan November nanti.
Penobatan mereka sebagai nominee resmi akan diadakan pada acara konvensi (convention) bulan depan. Konvensi Republikan akan diadakan di Cleveland, Ohio, pada tanggal 18-21 Juli, sedangkan Demokrat akan diadakan tanggal 25-28 Juli di Philadelphia, Pennsylvania. Mari kenali profil mereka.
Donald Trump
Trump adalah raksasa property ternama di Amerika yang “katanya” memiliki kekayaan sekitar 10 milyar dollars. “I am very rich!” sering keluar dari mulut Trump di banyak tempat. Seluruh kampanyenya didasarkan atas pesan bahwa ia adalah seorang pengusaha sukses yang bisa mengeluarkan Amerika dari krisis ekonomi. Tapi, seberapa kaya sih seorang Donald Trump? Jumlah kekayaan Trump masih diperdebatkan karena tidak ada orang yang tahu pasti. Ketika semua calon baik dari Republikan maupun Demokrat sudah membuka tax return mereka ke publik, hanya Trump yang sampai hari ini belum melakukannya dengan alasan bahwa dia masih diaudit. Seberapa kaya seorang Trump adalah misteri besar hingga hari ini.
Satu hal yang menarik, sekalipun sudah menjadi presumptive nominee dari Partai Republik, Trump hingga hari ini belum mampu menarik banyak dukungan finansial dari orang-orang kaya di Amerika yang menjadi donatur-donatur tetap partai. Selama ini Trump sudah terlanjur mengembar-gemborkan di publik bahwa hanya dia akan mampu membiayai kampanyenya sendiri. Dia tidak butuh uang dari orang-orang kaya itu, dan tidak akan bisa diatur oleh mereka.
Ironisnya, dalam laporan keuangan terakhir, jumlah cash di account kampanye Trump hanya tinggal 1.3 juta dollar. Ini jauh sekali dibandingkan dengan Clinton yang punya dana segar 42 juta dollar. Banyak donatur-donatur kaya kepada partai Republik hingga hari ini masih enggan menulis cek untuk Trump. Tanpa dukungan keuangan yang kuat, hampir mustahil dia akan menang di bulan November.
Selain itu, Trump juga berhasil menarik massa dengan menyerukan pembangunan dinding pemisah yang tinggi dan indah di batas selatan dengan Mexico, mengajukan larangan terhadap masuknya imigran Muslim ke Amerika, dan mengatakan bahwa ia akan membuat racial profiling terhadap orang-orang Muslim di Amerika. Trump memberikan nama hinaan kepada hampir setiap lawan politisnya: lying Tedd, small Marco, crooked Hillary, low energy Bush, dll. Ia sengaja menyebut anak-anak imigran sebagai “anchor babies,” yang notabene adalah istilah penghinaan kepada imigran karena anak-anak ini dianggap sebagai alat bagi orang tua mereka untuk dapatkan dokumen resmi di Amerika.
Tidak hanya itu, ia juga secara terang-terangan membuat lelucon cara bicara Serge Kovaleski, seorang wartawan New York Times yang punya disabilitas. Trump tidak tanggung-tanggung menghina kaum perempuan dengan menyebut mereka disguisting, a slob, fat ugly face, dll. Herannya, Trump justru menang telak dalam primary kemarin dengan mendapatkan sekitar 14 juta suara dan 1447 delegates (untuk menang pencalonan di Partai Republik dibutuhkan 1237 delegates).
Bagaimana mungkin orang seperti Trump bisa menang primary di Partai Republik dengan cara kampanye yang xenofobik, Islamofobik, rasis, dan misogynic seperti itu? Hal yang lebih mengagetkan lagi adalah mayoritas kelompok Kristen konservatif (evangelicals) di Amerika memberikan dukungan kuat kepada Trump. James Dobson menyatakan bahwa Trump adalah seorang yang lahir baru (born again) dan masih bertumbuh sebagai seorang bayi rohani. Jerry Falwell, Jr., anak dari pemimpin gerakan moral majority Jerry Falwell, memberikan endorsement penuh kepada Trump dan mengatakan bahwa ia adalah “a man who I believe can lead our country to greatness again.”
Memang tidak semua pemimpin-pemimpin Injili seperti Russell Moore, Albert Mohler, Max Lucado, dan lain sebagainya, tidak mau memberikan dukungan mereka kepada Trump. Tapi jumlah pengikut Trump dari kelompok Injili tidak berkurang. Sebuah poll dari CBS News beberapa waktu lalu bahkan menunjukan bahwa 62% kelompok Injili mendukung Trump, dan hanya 17% yang mendukung Hillary. Ini kenyataan yang membuat pemimpin-pemimpin Injili bingung. Russell Moore dari Gereja Southern Baptist, contohnya, tidak mau lagi menyebut dirinya sebagai Injili karena menurutnya dalam situasi politis seperti sekarang ini istilah Injili sudah tidak lagi cocok dengan semangat Injil yang sebenarnya.
Slogan “Make America Great Again” kelihatannya mampu menyentuh krisis eksistensial pengikut-pengikut Trump yang kebanyakan adalah laki-laki kulit putih kelas menegah ke bawah. Orang-orang ini menganggap bahwa Amerika tidak lagi great sekarang karena kehadiran undocumented immigrants. Keadaan ekonomis mereka yang tidak baik dianggap adalah akibat dari invasi imigran. Banyak mereka menganggap bahwa Amerika berada dalam ancaman terorisme Islam. Trump dilihat sebagai seorang yang tough dan politically incorrect yang mampu menyuarakan kegelisahan sosial mereka secara terang-terangan dan gamblang.
Tentu saja ada alasan-alasan lain yang melatarbelakangi popularitas Trump, tapi dua riset terakhir yang dilakukan oleh Philip Klinkner, dosen ilmu politik di Hamilton College, dan Pew Research Center menunjukan bahwa dinamika ras memainkan peran yang krusial sebagai motivator naiknya popularitas Trump. Amerika saat ini sudah menjadi negara yang jauh lebih plural, dan kondisi sosial ini mengakibatkan dominasi kelompok kaum kulit putih beragama Kristen menjadi semakin kecil. Suara-suara kelompok marjinal (kaum perempuan, orang-orang non-Kristen, kelompok Hispanics, kelompok kulit hitam, LGBTQ, dll.) memiliki dampak yang kuat terhadap struktur politis lokal dan nasional. Kegelisahan terhadap mengecilnya pengaruh sosio-politis ini merupakan motivasi di balik persepsi bahwa Trump adalah seorang mesias yang akan membuat Amerika great again.
Hillary Clinton
Di sisi lain, Hillary Clinton bukan seorang politisi yang melewati jalan tol dalam perjalanan politisnya. Keluarga Clinton sudah puluhan tahun beredar di kancah politik nasional Amerika. Sejak Bill menjadi presiden, peran Hillary (ijinkan saya gunakan nama pertama untuk membedakan dia dari Bill Clinton) dalam pemerintahan Bill sangat signifikan. Hillary kemudian menjadi senator dari negara bagian New York.
Tahun 2008, dia maju sebagai salah satu calon presiden dari Partai Demokrat, tapi dikalahkan oleh Barack Obama di primary. Setelah Obama terpilih menjadi presiden, Hillary diangkat sebagai Secretary of State (Meteri Luar Negeri). Tahun 2012, Hillary mundur dari posisi Secretary of State ketika Obama maju untuk periode kedua. Semua orang di Amerika tahu bahwa Hillary mundur karena ia sedang persiapkan diri untuk pemilihan presiden tahun 2016 ini.
Serangan dari kelompok Republik bertubi-tubi dilancarkan untuk menjatuhkan dia. Skandal terbesar yang diangkat oleh politisi-politisi Republik adalah masalah penyerangan terhadap kedutaan Amerika di Benghazi, Lybia, tahun 2012. Media-media konservatif dipenuhi bukan saja berita mengenai peran Hillary dalam persitiwa Benghazi, tapi juga segala macam teori konspirasi. Masalahnya, beberapa saat sesudah penyerangan di Benghazi, Susan Rice, duta Amerika Serikat di PBB, menjelaskan bahwa insiden itu adalah kerusuhan biasa diakibatkan oleh video yang beredar di internet mengenai Nabi Muhammad. Namun, ketika informasi lebih banyak diterima oleh pemerintahan Obama, mereka mengubah ceritanya lagi, bahwa apa yang terjadi di Benghazi bukan disebabkan karena video tapi adalah serangan teroris. Singkat cerita, kelompok Republik menuduh Hillary dan pemerintahan Obama berbohong kepada publik Amerika.
Kongres yang dikuasai oleh Partai Republik bahkan membentuk tim khusus pencari fakta yang dipimpin oleh Trey Gowdy untuk mengusut tuntas isu Benghazi ini. Ujung-ujungnya tim khusus ini tidak menemukan apapun yang dapat menjatuhkan Hillary, tapi justru mereka lahirkan skandal baru: email pribadi. Selama memegang jabatannya sebagai Secretary of State, ternyata Hillary lebih banyak menggunakan email pribadi dan bukan email resmi pemerintah. Setelah menghapus email yang berhubungan dengan urusan-urusan pribadi, Hillary menyerahkan semua email yang berurusan dengan negara ke Department of State dan dibuka ke publik. FBI juga terlibat dalam mengusut masalah email ini untuk memastikan bahwa tidak ada rahasia negara yang bocor.
Akibatnya fatal sekali. Masalah email menjadi skandal besar dan dipakai oleh kelompok Republik untuk menyerang Hillary bahwa Hillary menganggap diri above the law. Kepercayaan publik terhadap Hillary jatuh secara drastis. Defisit kepercayaan publik ini sudah disadari benar oleh Hillary. Seberapa besar kepercayaan publik akan naik dalam bulan-bulan menuju ke general election ini, kita tidak tahu. Jika semakin baik, maka peluang Hillary terpilih sebagai presiden semakin tinggi. Tapi jika memburuk, itu pula akan merusak impian Hillary untuk masuk ke Gedung Putih lagi.
Dari kalangan yang lebih liberal, walaupun Hillary memiliki segudang pengalaman dan CV-nya jauh lebih baik dari semua calon presiden lain, Hillary terlihat tidak terlalu antusias dengan agenda-agenda politis yang progressif seperti penetapan $15 sebagai upah minimum pada level federal, single-payer healthcare system, pembebasan biaya mahasiswa (free tuition) untuk universitas publik, dll. Hillary awalnya mendukung perjanjian-perjanjian dagang internasional seperti NAFTA dan TPP, walaupun akhir tahun lalu ia pisah jalan dengan Obama karena menolak TPP.
Dalam beberapa isu sosial lain seperti pernikahan homoseksual dan 1994 crime bill yang berakibat pada kenaikan jumlah orang-orang kulit hitam yang dipenjara, Hillary juga mengubah posisinya dalam beberapa tahun terakhir ini. Ketidakpastian posisi politis Hillary membuat orang-orang far left ini jadi ragu apakah ia benar-benar progresif atau tidak. Dalam proses primary election, Bernie Sanders, senator Independen dari Vermont, menuduh Hillary tidak kuat dalam menangani Wall Street karena ia pernah diundang untuk bicara di depan perusahan-perusahan raksasa seperti Goldman Sach dan dibayar ratusan ribu dollar. Bahkan Sanders menuntut Hillary untuk membuka transkrip pidatonya ke publik supaya diketahui semua orang; sebuah permintaan yang hingga hari ini tidak dipenuhi Hillary.
Selain itu, dalam kancah politik luar negeri, mereka juga tidak senang dengan Hillary karena ia dulu vote untuk meng-approve presiden George Bush memulai perang di Irak; Hillary juga yang turut terlibat dalam ketidakstabilan sosial di Lybia; Hillary terlibat dalam proses coup di Honduras pada tahun 2009 yang membawa kekacauan disana. Semua rekor negatif ini membuat orang-orang far left menarik dukungan mereka dari Hillary.
Jadi, singkatnya, Hillary berhadapan bukan saja dengan tantangan dari Republik, tetapi juga dari kelompok far left yang menganggap dia terlalu sentris. Kemenangan Hillary sebagai calon pasti (presumptive nominee) dari Partai Demokrat adalah sebuah sejarah karena belum pernah ada seorang perempuan yang pernah menjadi calon presiden dari partai utama di Amerika. Lalu mengapa Hillary bisa menang primary election kemarin? Kuncinya adalah pada koalisi pendukung Hillary jauh lebih beragam dari Sanders. Kalau Sanders berhasil menarik dukungan dari mayoritas kelompok anak-anak muda dan kulit putih, kemenangan Hillary di negara-negara bagian di Selatan menunjukan bahwa kelompok minoritas memainkan peran penting untuk mendukung dia. Selain itu, peran Hillary dalam mempejuangkan undang-undang reformasi imigrasi (immigration reform bill) yang membuka peluang kepada imigran-imigran tanpa dokumentasi di Amerika supaya mendapatkan legalitas, membuat mayoritas kelompok Hispanic dan orang-orang Asia berikan dukungan mereka kepadanya.
Koalisi yang beragam jelas adalah kunci penting bagi Hillary dalam bukan saja dalam primary tapi juga general election. Nah, tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana Hillary bisa menarik pendukung-pendukung Sanders untuk bergabung dalam koalisinya di general election untuk melawan Trump.
Hillary mungkin bisa menarik mereka dengan dua cara. Pertama, memilih calon Wakil Presiden yang lebih liberal. Rumor yang sedang beredar saat ini adalah Elizabeth Warren, senator dari Massachusetts dan mantan dosen hukum di Universitas Harvard, adalah salah satu calon yang sedang dipertimbangkan oleh Hillary. Warren, yang adalah hardcore liberal, berpotensi besar untuk menolong Hillary menarik pendukung-pendukung Sanders. Kedua, Hillary mengubah beberapa posisinya, seperti mendukung single-payer system, mendukung pembebasan uang untuk universitas-universitas negeri, dll. Pilihan kedua ini kemungkinan agak berat untuk diambil Hillary karena hal itu akan membawa dia terlalu jauh ke kiri, yang notabene secara politis bukan strategi yang baik dalam membangun koalisi yang lebih besar untuk general election. Dugaan saya, kemungkinan besar Hillary akan mengambil pilihan pertama.
Quo Vadis Amerika?
Trump dan Hillary mewakili dua visi yang berbeda bagi masa depan Amerika. Tapi pilihan yang mana yang terbaik? Bulan November ini adalah penentuan langkah selanjutnya dari sejarah Amerika Serikat. Apakah Amerika akan memilih wanita pertama untuk jadi pemimpin mereka, atau seorang pengusaha yang akan menutup Amerika dari dunia luar.
Nah, sebagai orang Indonesia, tentu kita akan bertanya, dampaknya apa kepada Indonesia? Jika Hillary terpilih, ia akan melanjutkan kebijakan-kebijakan politis Obama. Karena Obama sangat membuka diri kepada dunia Islam, kemungkinan besar Hillary akan terus mengembangkan kerja-sama dunia Islam, termasuk juga Indonesia.
Namun demikian, kritik dari pendukung Sanders kepada Hillary perlu juga kita pertimbangkan secara serius. Hillary tidak sungkan terlibat dalam urusan-urusan domestik negara-negara lain. Keterlibatan Hillary dalam mengubah struktur kepemimpinan negara lain, yang sering disebut oleh orang-orang Amerika sebagai regime change, seperti di Lybia, Syria, dan Honduras, adalah sebuah warning light kepada Indonesia. Kalau Hillary bisa melakukannya di tempat lain, Indonesia kamungkinan bisa jadi korban berikutnya.
Bagaimana dengan Trump? Hal yang sangat pasti terjadi jika Trump terpilih adalah rusaknya hubungan Amerika dengan negara-negara luar. Retorika anti-Islam Trump adalah racikan manjur untuk mempertajam ketegangan antara Amerika dan dunia Islam. Selain itu, Indonesia kemungkinan besar akan ada dalam daftar negara yang dilarang untuk masuk ke Amerika. Ini tentu saja akan merusak hubungan bilateral Amerika dan Indonesia.
Rusaknya hubungan antara Uni Eropa dan Inggris sebagai dampak dari Brexit jelas membuat peran Amerika semakin penting dalam kancah politik internasional di masa depan. Mata dunia sedang menanti dengan cemas siapa yang akan muncul sebagai pemimpin berikut Amerika Serikat. Quo vadis, Amerika?
Penulis adalah Mahasiswa doktoral di Vanderbilt University, USA.
Editor : Trisno S Sutanto
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...