Radhar Panca Dahana: Anggota Dewan Saja Tidak Paham, Apalagi Caleg Baru
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Radhar Panca Dahana, sastrawan, esais, kritikus sastra, jurnalis, sekaligus seniman teater, menilai anggota legislatif yang menjabat saat ini tidak memperjuangkan secara serius persoalan kebudayaan. Jangankan memperjuangkan, pemahaman mereka mengenai kebudayaan itu sendiri keliru besar, apalagi calon legislatif (caleg) baru yang akan diusung pada pemilihan legislatif (pileg) pada 9 April mendatang.
Radhar menambahkan, yang mereka (anggota dewan saat ini, Red) lakukan selama ini hanya mengurus masalah yang berkaitan dengan program-program kebudayaan, itu pun hanya jangka pendek, seperti membuat festival, membenahi candi, merenovasi museum. Bukan mengurus dinamika kebudayaan berupa ide, gagasan, pemikiran. Radhar menilai, hal itu diakibatkan kurangnya pemahaman tentang kebudayaan.
Sementara itu, persoalan kebudayaan yang dimaksud adalah kondisi yang kondusif bagi dinamika kebudayaan Indonesia, dalam arti tidak ada halangan, pengekangan, ancaman bagi orang dalam mengungkapkan pemikiran. Permasalahannya, ancaman yang ada itu bukan vertikal, tetapi horizontal, terjadi di antara kelompok.
“Anggota legislatif yang menjabat sekarang kurang kapasitasnya, kalau boleh dibilang rendah. Sangat peduli juga tidak, malah keliru dengan pemahaman kebudayaan itu sendiri,” kata Radhar, ditemui di kantor Federasi Teater Indonesia (FTI), Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (4/3).
Batik, tari saman, Candi Prambanan, keliru besar jika disebut kebudayaan. Anggota dewan selaku pembuat kebijakan hanya memikirkan bagaimana cara memasarkan batik, menyebarluaskannya. Padahal, batik yang dimaksud itu cuma barang, dan barang bisa dikomodifikasi, diperjualbelikan. Mereka kemudian menganggap kebudayaan itu lekat dengan pariwisata, menjadi tontonan.
“Anggota dewan harusnya concern masalah itu, tetapi mereka sendiri tidak mengerti yang disebut kebudayaan itu apa,” kata penggagas dan pendiri FTI tahun 2004 itu.
Kebudayaan dan Produk Budaya
Pria yang memulai debut sebagai sastrawan sejak usia 10 tahun itu menjelaskan, kebudayaan adalah hal yang tidak materiil, tidak berjasad, sifatnya abstrak, seperti ide, gagasan, nilai, moralitas, estetika, etika. "Kalau sekarang birokrasi kita dibilang krisis kebudayaan, karena semua hal itu tidak ada pada diri mereka. Masyarakat hanya tahu kebudayaan itu Candi Borobudur, Candi Prambanan, batik, tari kecak, wayang, keris, yang semua itu artefak. Artinya, produk dari kebudayaan itu," kata Radhar.
“Misalnya kopi, salah besar jika dikatakan sebagai industri, melainkan produk dari industri. Jadi, bukan kopi yang diurus, dibersihkan, namun industrinya yang harus dibenahi, yaitu manajemennya,” Radhar mengumpamakan.
Karena itu pula kita tidak pernah bisa melahirkan kebudayaan baru yang bagus, seperti zaman dulu. Sekarang tidak mungkin membuat candi sehebat candi-candi dulu, bahkan gedung-gedung bertingkat pun mencontek dari luar negeri.
Karena kebudayaan yang bagus, dulu, lanjut Radhar, kita bisa mempunyai arsitektur candi. Orang pun bekerja sungguh-sungguh, mengabdi kepada negara sungguh-sungguh, menjadi pamong praja (sekarang pegawai negeri, Red) dengan sungguh-sungguh pula, berbeda dengan sekarang pemerintahan malah dijadikan permainan.
Budaya Korupsi
Sangat sulit bagi seorang baru untuk tidak terbawa keadaan, apalagi jika peluang sangat terbuka. Caleg baru sangat mungkin terbawa suasana, kebiasaan, karakter yang rusak itu, di dalam sistem birokrasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Beberapa anggota dewan yang korupsi sekarang termasuk orang baru, sebut saja Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh. DPR itu sebenarnya sudah menjadi kawah candradimuka untuk pelatihan para koruptor,” ujar sastrawan yang pernah terpilih sebagai salah satu dari lima seniman muda versi NHK tahun 1996 itu.
Yang tidak menerima uang bahkan akan dikucilkan. Kalau sudah dikucilkan, tidak mendapat tempat, termasuk untuk berbicara. Jadi, ada desakan-desakan horizontal supaya orang mau tidak mau terbawa, seperti terjadi di dunia birokrasi. "Harusnya anggota legislatif membuka ruang untuk dinamika kebudayaan itu sendiri," ia menambahkan.
Tetapi, yang dilakukan anggota dewan justru berdebat, yang kadang sampai terlibat adu fisik. Berarti, produk kebudayaan mereka sendiri berkelahi dengan alasan yang bodoh. “Harusnya berkelahi membela negara atau membela harkat dan martabat negara, bukan membela rezeki sendiri,” Radhar menyesalkan.
Masalahnya, saat ini, mayoritas anggota DPR mencalonkan diri lagi. Artinya, kursi pemerintahan nanti akan diisi orang-orang lama, kalaupun tidak mayoritas, minimal setengahnya, dengan sistem yang sedemikian rusak itu.
Butuh Orang Berintegritas untuk Menjaga Kode Etik
Perilaku-perilaku tersebut sebenarnya juga dialami pejabat di semua negara di dunia. Senator atau anggota parlemen di negara lain juga banyak yang bisa disogok, ada pula yang jatuh karena perempuan, seperti dialami Perdana Menteri Italia Berlusconi yang dilengserkan dari jabatannya setelah dua dekade.
Perbedaannya dengan negara Indonesia, di negara lain ada orang-orang yang berintegritas menjaga kode etik. Orang-orang itu berani miskin, berani diancam, berani dibunuh, namun aturan itu dijalankan. Seharusnya lembaga negara di Indonesia seperti itu.
Dengan kode etik itu, bisa membuat si pelaku mundur dengan kesadaran sendiri, atau dilengserkan. Di Indonesia, kode etiknya tidak kuat. Kode etik itu adalah kesepakatan, moralitas supaya tidak melanggar, melakukan perbuatan yang dianggap tidak bermoral, tetapi itu tidak tertulis.
“Punya istri empat atau main perempuan di luar perkawinan memang tidak dilarang di undang-undang, tetapi secara moral itu tidak baik,” urai Radhar.
Jadi dewan pengawas, badan kehormatan, sampai anggota legislatif yang menjabat saat ini, tidak diisi orang-orang yang berintegritas, melainkan orang-orang yang gampang dibeli.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...