Radikalisme Agama dan Pluralisme di Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Nias mencatat adanya salah satu masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini yaitu berkembangnya radikalisme, di samping masalah lainnya seperti kemiskinan, ketidakadilan dan kerusakan lingkungan.
Sebagian besar masyarakat, terutama warga Kristiani, kemudian menuding bahwa paham kekerasan ini menjadi biang kerok dari terjadinya tindak kekerasan atau religious intolerance terhadap umat Kristiani di beberapa tempat di Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menghubungkan kata radikalisme dengan aktivitas politik dan mengartikannya sebagai: (1) sebuah paham atau aliran yang radikal di politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan (3) sikap ekstrem di aliran politik.
Namun dalam perkembangannya, radikalisme kemudian dikaitkan dengan agama dan perilaku radikal dari kelompok agama tertentu terhadap kelompok lainnya yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip mereka.
Radikalisme Agama
Radikalisme memang bisa dikaitkan dengan agama dan politik, jika paham ini dihubungkan dengan keinginan suatu kelompok tertentu untuk mendapatkan kekuasaan dan/atau mengubah bentuk kekuasaan suatu negara dengan cara kekerasan, di mana kelompok tersebut menggunakan simbol-simbol agama tertentu demi mencapai tujuannya dan mendapatkan manfaat dari penggunaan simbol agama tersebut.
Mengenai radikalisme dalam agama, sebagian orang menganggap bahwa ibarat uang logam, agama memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Satu sisi, agama mengajarkan kebaikan dan mendatangkan rahmat dan berkat bagi umat manusia. Namun di sisi lain, agama juga memiliki daya rusak dan dapat menimbulkan kehancuran.
Terkait hal ini, Peter Berger dalam tulisannya, Religion and Global Civil Society (2005) menyimpulkan bahwa ketika agama telah terinstitusionalisasi, maka konflik yang merusak semua sendi kehidupan manusia dapat dengan mudah terjadi.
Dengan kata lain, ketika agama tidak lagi dipandang sebagai sebuah perwujudan iman percaya dan hubungan yang hakiki antara Tuhan dengan umat ciptaan-Nya, tetapi dipandang sebagai sebuah institusi yang di dalamnya memiliki seperangkat aturan, norma dan sanksi, maka agama sangat mungkin menjadi sumber konflik, baik itu konflik antaragama maupun konflik intra agama.
Bagi para sosiolog seperti Berger dan Juergensmeyer, sama seperti nilai-nilai sosial dan tradisi dalam masyarakat, agama dapat dianggap sebagai produk dari manusia. Agama terbentuk sebagai akibat dari perilaku dan interaksi antarmanusia yang tinggal di dalam satu kelompok tertentu. Agama kemudian dipandang sebagai sebuah proses orang-orang hidup, tinggal dan saling berinteraksi di dalamnya.
Pada satu titik tertentu dalam proses tersebut, agama yang sebelumnya merupakan produk dari manusia dan interaksinya kemudian dapat berubah fungsi menjadi alat kontrol bagi manusia itu sendiri melalui aturan-aturan yang ada. Bahkan agama dapat digunakan oleh manusia untuk mengatur dan mengendalikan sesamanya.
Di sinilah agama kemudian dianggap sebagai institusi yang mengontrol orang-orang yang ada di dalamnya. Sebagai sebuah institusi, agama kemudian juga akan melakukan berbagai cara agar dapat tetap berjalan, termasuk dengan melakukan aksi kekerasan demi mencapai tujuan dan kepentingan politik mereka.
Didukung adanya pemikiran salafi jihadisme yang intinya mengizinkan penggunaan kekerasan untuk mendirikan negara berbasis agama atau syariat Islam, maka radikalisme agama bisa dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Indonesia.
Radikalisme Agama Berbahaya?
Tentu saja radikalisme agama bisa berbahaya bagi kehidupan masyarakat yang plural di Indonesia. Tetapi apakah radikalisme kemudian dianggap sebagai satu-satunya pemicu rusaknya pluralisme di Indonesia?
Radikalisme dengan menggunakan simbol agama tertentu memang dapat mengancam keharmonisan hidup bermasyarakat yang plural di Indonesia. Namun, itu bukan satu-satunya yang menghancurkan kehidupan pluralisme di Indonesia, Mengikuti hukum Newton ketiga tentang aksi-reaksi, maka kehidupan beragama di Indonesia pun diwarnai oleh aksi reaksi.
Maraknya pengrusakan tempat ibadah, yang kemudian diikuti dengan penutupan dan pencabutan izin sejumlah gereja di Indonesia menjadi sebuah fenomena tentang aksi reaksi yang perlu dipahami lebih jauh.
Satu sisi hal ini dapat dipandang sebagai bentuk aksi radikal dari kelompok Islam militan di negara ini terhadap umat Kristiani. Namun, di sisi lain hal ini juga dapat dipandang sebagai adanya kekhawatiran akan peningkatan jumlah umat Kristiani di Indonesia yang diikuti dengan pertambahan jumlah gereja yang sangat beragam denominasi dan afiliasinya.
Menurut data Biro Pusat Statistik pada tahun 2005, agama Islam di Indonesia tetap merupakan agama dengan jumlah pemeluk terbesar, yaitu sekitar 87.2 persen dari jumlah penduduk, dan diikuti dengan pemeluk agama Kristen/Katolik sebanyak 9.5 persen. Meskipun jumlah tersebut terbilang kecil, namun sesungguhnya jumlah penduduk beragama Kristen/Katolik tersebut mengalami peningkatan yang pesat dari yang sebelumnya hanya 2.8 persen pada tahun 1933, menjadi 7.3 persen pada tahun 1971, dan 8.92 persen pada tahun 2000.[1]
Menariknya, peningkatan jumlah gereja di Indonesia bukan saja dianggap sebagai ancaman bagi kelompok yang berbeda agama, tetapi juga ancaman bagi umat Kristiani itu sendiri. Sehingga muncul istilah “rebutan jemaat” atau “rebutan persembahan” di kalangan para pelayan gereja.
Pemerintah Indonesia melalui UUD 1945 dan turunannya seperti UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 39/2009 tentang HAM dan UU No. 12/2006 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights dengan tegas menjamin kebebasan beragama dan kemerdekaan beribadah bagi pemeluk agama yang diakui oleh pemerintah, termasuk juga pembangunan rumah-rumah ibadah.
Sejumlah besar kasus pengrusakan dan penutupan gereja di Indonesia dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah, PGI dan khususnya umat Kristiani di Indonesia.
Pertambahan jumlah umat Kristiani di Indonesia memang sewajarnya diikuti dengan peningkatan jumlah gereja di Indonesia.
Namun dalam hal ini, pemerintah dan PGI perlu memikirkan sebuah mekanisme yang tepat – bukan menyulitkan namun juga tidak membiarkan – tentang pembangunan rumah ibadah yang tidak menjadi ancaman baik bagi kelompok agama lainnya maupun kelompok umat Kristiani itu sendiri.
Dengan demikian kehadiran umat Kristiani dan tempat ibadahnya akan dirasakan positif dan dinikmati oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.
Angel Damayanti, S.IP., M.Si., M.Sc adalah dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Kristen Indonesia
[1] Lihat juga Mujiburrahman. Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order, Leiden: Amsterdam University Press, 2006, dan Solahudin. NII Sampai JII: Salafy Jihadisme di Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...