Rakyat Jelita dan Demokrasi
SATUHARAPAN.COM - Istilah “rakyat jelita” pertama kali muncul terkait kasus pidana pencucian uang Tubagus Chairi Wardana (Wawan). Kasus adik mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini bukan saja berhubungan dengan kasus suap tapi juga pidana pencucian uang yang melibatkan artis-artis cantik.
Bermula dari kasus penyuapan sengketa Pilkada Lebak, Banten, kasus Wawan merebak ke kasus “sedekah” mobil kepada para artis cantik. KPK telah menyita mobil Alphard Vellfire dari Jennifer Dunn, kini mencecar artis lain seperti Chaterine Wilson dan Rebbeca. Berturut-turut ada beberapa artis lain yang masuk dalam pusaran kasus ini seperti Aura Kasih, Cynthiara Alona, Syahrini, Iis Dahlia, dll. Hingga saat ini KPK telah menyita 42 mobil mewah dan sebuah sepeda motor gede yang diberikan kepada artis dan pejabat publik (satuharapan.com, 24 Februari).
Obyek Seksual
Jika ditarik dalam kontek pemilu legislatif, tak sedikit juga “rakyat jelita” yaitu kalangan artis dengan latar belakang politik minim maju sebagai caleg. Kemunculan dua artis seksi dari Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia (PKPI): Destiara Talita (model majalah dewasa) dan Camel Petir (pedangdut seksi) sempat mendapatkan porsi pemberitaan cukup luas.
Dua artis itu mendapat sambutan “meriah” di dunia media sosial karena masih mengekspose kemolekan tubuh bahkan ketika terdaftar sebagai calon tetap (DCT). Camel Petir bahkan berpendapat “rakyat kini mulai bosan dengan caleg pintar” (kompas.com, 11 Februari) – mengamsusikan caleg seksi lebih mendapat kans untuk terpilih dibandingkan caleg pintar dan populis.
Bukan hanya PKPI, beberapa partai lain juga memilih perempuan-perempuan seksi sebagai caleg. Kita bisa melihat figur seperti Angel Lelga, Cinta Penelope, Bella Saphira, Arzeti Bilbina, Jane Shalimar, dll menjadi caleg 2014. Pada pemilu 2009 beberapa artis cantik berhasil mendapatkan posisi di Senayan seperti Angelina Sondakh, Inggrid Kansil, Vena Malinda (Demokrat), Rieke Dyah Pitaloka (PDIP), Nurul Arifin, Tetty Kadi (Golkar), dan Rachel Mariam (Gerindra). Di daerah pun demikian. Bak artis lokal, para caleg muda menampilkan diri di baliho dan spanduk dengan wajah penuh senyum menggoda dan serba rupawan.
Apa yang mempersamakan kasus artis-artis Wawan dan artis-artis caleg itu? Mereka sekumpulan sosok cantik dengan wajah menggoda dan tubuh sensual - tentu “bernilai mahal” dari sisi komersial dan politik.
Mereka paham bahwa momentum elektoral seperti pemilu legislatif atau Pilkada bukan semata kontestasi ide, tapi juga kontestasi “tubuh”. Demokrasi elektoral di dunia yang semakin kompleks media dan informasi seperti saat ini telah memberikan impuls-impuls inderawi dan kadang tidak berhubungan dengan perbaikan kualitas sosial-ekonomi, pemenuhan hak politik, dan identitas kemasyarakatan (demos).
Politik telah menemukan rujukan baru ke dalam model fisik dan citra tubuh. Politik citra/tubuh telah memenuhi labirin publik tentang politik. Kita bisa menyisir ingatan tentang sejarah elektoral bangsa ini, baik pemilu presiden, pemilu legislatif, atau pemilukada ketika “citra” lebih mengemuka dan menentukan dibandingkan “isi”. Citra pemimpin yang santun, berbadan tegap, pintar menyanyi, ganteng, njawani menjadi faktor keterpilihan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibandingkan Jusuf Kalla yang tegas, lugas, dan berani, tapi bertubuh kecil dan orang “sabrang” pada Pilpres 2009. Padahal banyak analisis politik menyatakan penentuan keberhasilan dan pembangunan dan pemerintahan SBY-Kalla jilid pertama (2004-2009) ada karena peran JK.
Bagi perempuan cantik, terjun ke dunia politik, motif persuasinya semakin kompleks. Ketika tubuh lebih ditonjolkan dibandingkan dedikasi, perjuangan, pikiran, dan totalitas perubahan, maka yang ada hanya hasrat yang berpuncak pada tubuh. Tentu tidak menuduh semua perempuan cantik tidak memiliki kredibilitas dan kapabilitas, tapi secara empiris kita melihat para “rakyat jelita” yang terjun di dunia politik hanya menjadi pelengkap saja atau wunderkammern – memakai istilah Umberto Eco, ruang indah untuk dipandang dan memuaskan insting seksual. Mereka kerap hanya mengambil peran hiperrealitas politik, tidak menjadi pilihan riil dan intelektual.
Cantik itu Modal
Tentu tak ada yang salah dengan tubuh molek dan wajah cantik. Bahkan tubuh cantik adalah modal dan berkah. Banyak perempuan berparas cantik mampu menjadi politikus andal.
Kita mengenal Hillary Diane Rodham Clinton, istri mantan presiden Amerika Serikat ke-42. Peran menonjol Hillary bukan saja sebagai first lady, tapi juga beragam aktivitas publik dan politik. Ia pernah menjadi anggota senat Amerika Serikat dan ikut konvensi calon presiden dari Partai Demokrat bersaing dengan Barrack Obama. Ia juga menjadi menteri luar negeri perempuan ketiga di AS. Hillary-lah satu-satunya mantan ibu negara yang berkiprah di senat. Karakter dan kecerdasan politiknya dianggap melebihi Bill Clinton, termasuk kematangannya menanggapi kasus perselingkuhan suaminya.
Demikian pula kita mengenal sosok seperti Sonia Gandhi dan Benazir Butho. Kedua perempuan itu bukan bumbu penyedap dari trah politik India dan Pakistan. Mereka adalah teratai bagi dua negara Asia Selatan yang tetap dikenang sebagai politikus perempuan kharismatik.
Bahkan sebenarnya banyak model dan artis seksi berhasil sebagai politikus. Kita mengenal Eva Kaili, mantan presenter televisi yang menjadi anggota parlemen di Yunani; Alina Kabayeva, mantan pesenam yang menjadi politikus Partai United Russia; Mara Carfagna, model majalah dewasa yang menjadi menteri persamaan hak di Italia; Luciana Leon, wakil ketua parlemen Peru yang pernah dijuluki sebagai politikus paling cantik di dunia, dll.
Berbeda dengan gagasan demokrasi klasik-Athenian yang mengeluarkan perempuan sebagai demos, demokrasi modern memberikan hak yang sama bagi semua orang untuk terlibat dalam kebijakan politik. Tak hirau jika perempuan jelita yang melulu menghabiskan hidupnya dalam dunia glamour dan memanjakan tubuh. Semuanya memiliki hak yang sama untuk memilih dan terpilih.
Tentu demokrasi adalah wacana yang perlu terus diinterpretasikan dan dikembangkan perspektif kebaruannya. Rakyat jelita juga berhak untuk dipilih. Namun, atas nama demokrasi, pilihan terhadap mereka harus tetap rasional. Pilihan tidak didasarkan pada hasutan libidinal dan menjelalakkan mata atas tubuh dan wajah seksi semata.
Jika tidak, kita sedang kembali masuk ke dalam sebuah lorong gelap demokrasi. Mengutip perkataan seorang jenderal militer Belanda di Aceh di era kolonial, Van Daalen, “een moordgeschiedenis”: sebuah sejarah pembunuhan. Ya, pembunuhan demokrasi itu sendiri!
Penulis adalah antropolog Aceh.
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...