Ramos-Horta Terpilih sebagai Presiden Timor Leste
DILI, SATUHARAPAN.COM-Mantan pejuang kemerdekaan Timor Leste dan peraih Nobel Perdamaian, Jose Ramos-Horta, akan memenangkan pemilihan presiden putaran kedua, memperoleh lebih dari 60% suara yang dihitung hari Rabu (20/4). Dia mengalahkan petahana Francisco “Lu Olo” Guterres untuk kedua kalinya dalam demokrasi negara termuda di Asia.
Hasil resmi tidak diharapkan dielouarkan pekandepan, tetapi Ramos-Horta, yang memimpin perlawanan selama pendudukan Indonesia di Timor Timur, mendapat 61,72% suara yang dihitung sejauh ini. Guterres tertinggal dengan 38,28% dan telah berjanji untuk menerima hasilnya.
Pemungutan suara putaran kedua peilihan presiden berlangsung damai pada hari Selasa (19/4). Ramos-Horta memimpin di ronde pertama tetapi gagal melampaui ambang batas 50% untuk meraih kemenangan.
Ramos-Horta, presiden Timor Leste dari tahun 2007 hingga 2012, dan Guterres saling menyalahkan selama bertahun-tahun kelumpuhan politik. Keduanya juga bertemu di babak kedua pada pemilihan presiden tahun 2007.
Ramos-Horta berjanji untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan layanan kesehatan bagi ibu dan anak-anak dan menciptakan lebih banyak pekerjaan jika dia terpilih, dan berjanji untuk membangun komunikasi dengan partai-partai yang memerintah untuk memulihkan stabilitas politik negara dan mencegah penurunan ekonomi yang lebih parah.
Lebih dari 76% suara bulan lalu diberikan kepada tokoh-tokoh era perlawanan, menunjukkan betapa mereka mendominasi politik setelah dua dekade meskipun suara-suara yang lebih muda muncul.
Presiden bertanggung jawab untuk membentuk pemerintah dan membubarkan parlemen. Presiden yang akan datang mulai menjabat pada 20 Mei, peringatan 20 tahun kemerdekaan Timor Leste.
Pada tahun 2018, Guterres menolak untuk mengambil sumpah sembilan calon Kabinet dari Kongres Nasional Rekonstruksi Timor Timur, yang dikenal sebagai CNRT, sebuah partai yang dipimpin oleh mantan perdana menteri dan pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao, yang kemudian mendukung pencalonan Ramos-Horta sebagai presiden.
Guterres berasal dari Front Revolusioner untuk Timor Timur Merdeka, yang dikenal dengan akronim lokal Fretilin, yang telah memimpin perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia.
Fretilin mengatakan bahwa Ramos-Horta tidak layak menjadi presiden, menuduhnya menyebabkan krisis sebagai perdana menteri pada tahun 2006, ketika puluhan orang terbunuh ketika persaingan politik berubah menjadi konflik terbuka di jalan-jalan Dili.
Kebuntuan terakhir menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Taur Matan Ruak pada Februari 2020. Namun dia setuju untuk tetap bertahan sampai pemerintahan baru terbentuk dan untuk mengawasi pertempuran melawan pandemi virus corona dengan dana perang senilai US$ 250 juta. Pemerintahannya telah beroperasi tanpa anggaran tahunan dan mengandalkan suntikan bulanan dari simpanan dana negaranya, yang disebut Dana Perminyakan.
Selama kampanyenya, Ramos-Horta menyatakan dia akan mengadakan pemilihan parlemen dini jika mayoritas baru, berdasarkan CNRT, tidak dapat dinegosiasikan di antara partai-partai di parlemen saat ini. Banyak yang khawatir bahwa mengadakan pemilu lebih awal dapat mengobarkan ketegangan.
Transisi Timor Leste menuju demokrasi telah berbatu, dengan para pemimpin berjuang melawan kemiskinan besar-besaran, pengangguran dan korupsi karena terus berjuang dengan warisan pertempuran kemerdekaan berdarah. Ekonominya bergantung pada berkurangnya pendapatan minyak lepas pantai.
Jumlah pemilih di putaran kedua adalah 71,6%, atau 6% lebih rendah dari putaran pertama. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...