Rasa Sakit Itu Menjadi Ibadah Kehidupan
Mereka yang berhati nurani dan tahu membedakan keadilan yang sejati dan semu akan selalu mengingatmu sehingga rasa sakitmu tidak menjadi sia-sia!
SATUHARAPAN.COM – Suatu ketika teman saya berujar kepada saya, ”Hatiku sangat sakit. Mengapa tidak? Mereka yang telah kubela hak-haknya sepenuh hati, tetapi justru mereka yang menganggapku sumber masalah dalam masyarakat. Sedikit pun rasa hormat tidak kudapatkan. Sungguh menyakitkan hati. Hatiku terluka. Tersayat-sayat tak kuasa rasanya kutanggungnya. Tetapi, ah, sudahlah! Itu urusan hati nurani mereka! Lebih baik memaknai rasa sakit ini sebagai ibadahku kepada Allah yang telah memilihku menjadi anak-Nya untuk terus mencerminkan kemuliaan-Nya! Biarlah penderitaan dan rasa sakitku ini menjadi ibadah untuk memuliakan nama-Nya yang Mahakudus itu!”
Saya teringat ujaran teman tadi ketika menyaksikan pembacaan putusan hakim mengenai kasus Ahok karena dinilai oleh massa dan hakim telah melakukan penodaan agama. Setiap orang yang menyaksikan pembacaan putusan—tentu saja tidak karena sedang membenci Ahok—pasti akan sulit memahami pertimbangan-pertimbangan keputusan hakim itu. Tetapi, seperti dikatakan Presiden Jokowi, sebagai negara hukum kita patut menghormati keputusan hakim itu.
Kita sepakat dengan anjuran kepala negara kita itu. Sebab keputusan itu memang menyakitkan hati setiap insan yang mencintai keadilan sebagai suatu kebenaran hukum! Namun demikian, Ahok, bukanlah orang pertama dalam sejarah sosial kita.
Soekarno pernah dipenjara karena membela rakyat Indonesia. Ketika dipenjarakan tidak satu pun rakyat yang membelanya. Semuanya takut. Dan rasa takut itu wajar. Karena memang mereka tidak berdaya menghadapi kekuasaan hukum yang tidak adil itu.
Syukurlah, Soekarno menjalani masa penahanannya tanpa mengeluhkan sakit hatinya. Rasa sakit itu telah menjadi ibadahnya hingga membuat Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Dan kemerdekaan itulah yang membuat generasi muda Indonesia boleh menikmati pendidikan dan perkembangan sekarang!
Sekarang takkala Indonesia perlu ditatalayani agar bebas dari korupsi dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang mengesploitasi rakyat, Ahok telah menemui nasib buruknya. Perlawanannya terhadap korupsi dan ketidakadilan telah membawanya ke penjara beberapa saat setelah putusan hakim.
Menanggapi peristiwa itu, Andi Analta Amir, saudara angkat Ahok, menuturkan di televisi bahwa vonis tersebut mengejutkan bagaikan kilat menyambar. ”Tetapi, adik kami, Ahok, tambahnya, ”telah mempersiapkan kami menghadapi kenyataan ini. Ia mengatakan sekalipun dalam penjara kreativitas saya tidak bisa dipenjara!”
Semoga ujaran Ahok—”Sekalipun dalam penjara kreativitas saya tidak bisa dipenjara!”— merupakan ungkapan hati yang akan menguatkan setiap orang yang menghormati karya-karya terbaiknya dalam memimpin Jakarta! Siapa yang tak terharu menyaksikan prestasi anak bangsa dalam meningkatkan layanan publik di Jakarta? Kiranya rasa simpati dan empati yang mendalam dari mereka yang menghormati karya-karyanya—seperti nyata dari hamparan taburan rangkaian bunga di Balai Kota Jakarta—itu pertanda bahwa rasa sakit Ahok telah menjadi ibadah kehidupannya.
Bagi Saudaraku Ahok, semuanya ini memang menyakitkan hati. Tetapi, rasa sakitmu telah menjadi spiritualitas kehidupan sosial Indonesia untuk memastikan bahwa keadilan bukan sekadar retorika politik, melainkan praksis yang memastikan Indonesia merdeka dari segala bentuk perbudakan, termasuk perbudakan kekuasaan uang dan politik! Mereka yang berhati nurani dan tahu membedakan keadilan yang sejati dan semu akan selalu mengingatmu sehingga rasa sakitmu tidak menjadi sia-sia!
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...