Ratusan Imigran Rohingya Mendarat di Pidie dan Bireuen, Aceh
Warga Bireuen menolak kehadiran imigran Rohingya, karena alasan menimbulkan masalah.
BANDA ACEH, SATUHARAPAN.COM-Sebanyak 220 orang warga etnis Rohingnya kembali berlabuh di wilayah Kabupaten Pidie, kali ini mereka langsung masuk ke perkampungan dan singgah di mushala Gampong Kulee Kecamatan Batee Kabupaten Pidie, Aceh.
“220 etnis Rohingya diketahui warga sekitar pukul 03:00 WIB, sudah berada di pekarangan meunasah (mushala),” kata Camat Batee Ihsan, di Pidie, hari Minggu.
Ihsan mengatakan 220 orang pengungsi Rohingya itu termasuk lelaki dewasa berjumlah 68 orang, perempuan dewasa 79 orang dan anak-anak 73 orang.
Ratusan pengungsi Rohingya yang dibawa dengan kapal motor tersebut saat ini masih berada di Meunasah, dan sedang dilakukan pendataan oleh pihak keamanan serta IOM dan UNHCR.
"Saat ini banyak anak-anak yang terlihat lemas, dan sudah diberikan pertolongan obat-obatan serta bantuan makanan," kata Ihsan, dikutip Antara.
Sementara Keuchik Gampong Kulee, Tengku Muhammad mengatakan dirinya tidak mengetahui dari mana mereka jalan sehingga bisa sampai ke perkampungan.
“Tiba-tiba warga melihat, etnis Rohingya sudah ada di pekarangan meunasah dan beristirahat di sana,” kata Tengku Muhammad.
220 imigran Rohingya itu merupakan rombongan ketiga yang mendarat di Pidie, setelah sebelumnya dua kapal yang mengangkut 347 orang telah dievakuasi kuasai pemerintah setempat ke tempat penampungan sementara.
Sebagai informasi, dalam pekan ini Aceh telah didatangi ratusan pengungsi Rohingya. Pertama pada Selasa (14/11) di pesisir pantai Gampong Blang Raya Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie 200 orang, enam diantaranya melarikan diri.
Sehari setelahnya, Rabu (15/1), sebanyak 147 imigran Rohingya kembali mendarat di kawasan pantai Beurandeh Kecamatan Batee Kabupaten Pidie.
Etnis Rohingya yang datang dari dua gelombang ke Pidie tersebut telah ditampung di kamp Yayasan Mina Raya Gampong Leun Tanjung Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie, Aceh.
Ditolak Warga
Sementara itu, sebanyak 490 imigran Rohingya tiba secara bersamaan di Bireuen dan Pidie, Aceh, dinihari tadi. Namun warga Bireuen kembali menolak kehadiran pengungsi Rohingya tersebut.
Imigran Rohingya di Bireuen di Kecamatan Gandapura kemudian berpencar ke beberapa desa. Mereka tiba di daratan sekitar pukul 02:00 WIB dan ditemukan di empat desa yakni Lhok Mambang, Samuti Rayeuk, Samuti Krueng dan Blang Rheu.
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, mengatakan masyarakat mengetahui keberadaan Rohingya sekitar pukul 02:30 WIB setelah melihat orang asing berjalan secara berkelompok di desa. Warga melaporkan hal itu ke kepala desa dan perangkat desa.
"Kepala desa serta warga setempat mengumpulkan imigran Rohingya tersebut di lapangan bola kaki Desa Lhok Mambang, Meunasah Desa Samuti Rayeuk, Meunasah Desa Blang Rheue, Meunasah Samuti Krueng," kata Joko.
Warga masyarakat keempat desa tersebut menolak kehadiran Rohingya. Mereka berencana membawa imigran tersebut kembali ke kapal agar melanjutkan perjalanan keluar dari kecamatan tersebut. "Warga membawa Rohingya kembali ke kapal menggunakan dump truk dan mobil pikap," jelas Joko.
Alasan Menolak Imigran Rohingya
Warga Pantai Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, mengaku tidak terima dengan kedatangan kelompok terbaru tersebut karena sudah beberapa kali warga Rohingya datang ke kawasan tersebut dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga.
“Dari sudut pandang kemanusiaan, kami prihatin, tapi dari sudut pandang lain, mereka membuat keributan. Kami menyediakan tempat berlindung bagi mereka, tapi kami juga tidak bisa menampung mereka,” kata Saiful Afwadi, tokoh adat di Kecamatan Muara Batu, hari Jumat.
Rahmat Karpolo, seorang kepala desa, mengatakan warga tidak mau menerima pengungsi karena berdasarkan pengalaman, warga Rohingya melarikan diri dari tempat penampungan. “Jadi kami khawatir kejadian yang sama akan terulang kembali.” kata Karpolo.
Lebih dari 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh setelah tindakan keras yang dipimpin tentara pada bulan Agustus 2017. Mereka mengatakan kamp-kamp tersebut penuh sesak dan mereka harus pergi lagi untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Sebagian besar pengungsi yang meninggalkan kamp melalui laut berusaha mencapai Malaysia, namun banyak juga yang berakhir di Indonesia dalam perjalanannya.
Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan tertulisnya, hari Kamis (16/11), menyatakan Indonesia bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951. Oleh karena itu, Indonesia tidak mempunyai kewajiban atau kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi memberikan solusi permanen bagi para pengungsi.
“Akomodasi disediakan semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya, banyak negara peserta konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan penolakan terhadap pengungsi,” kata Lalu Muhamad Iqbl, juru bicara Kementerian dalam sebuah pernyataan.
Ia menambahkan, kebaikan Indonesia dalam menyediakan tempat penampungan sementara telah banyak dieksploitasi oleh para penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial tanpa mempedulikan tingginya risiko yang dihadapi para pengungsi, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Bahkan banyak di antara mereka yang teridentifikasi sebagai korban perdagangan manusia, kata Iqbal. (AP/Antara)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...