Reformasi Hukum Jalan di Tempat
SATUHARAPAN.COM - Reformasi hukum di Indonesia dinilai belum berhasil. Alih-alih semakin mandiri dan berintegritas, sejumlah persoalan krusial seperti mafia peradilan dan korupsi terus terjadi dan melibatkan aparat penegak hukum negeri ini. Mentalitas positif dan komitmen teguh menjadi kunci perbaikan yang belum digarap optimal hingga saat ini. Hingga hari ini, hampir dua dekade sejak reformasi bergulir, kinerja aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dinilai belum optimal. Sejumlah kasus hasil operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap pegawai Mahkamah Agung membuktikan bahwa praktik jual beli perkara masih marak. Pada Jumat lalu, KPK menangkap Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna.
Hal ini menujukkan reformasi hukum masih hanya sekedar wacana belaka tanpa ada kemajuan yang berarti. Hukum hanya sekedar instrumen mereka yang memiliki power, kapital, kedekatan di lingkarangan kekuasaan. Hukum belum menjalan fungsinya menegakkan keadilan dan kebenaran. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa 'membeli'-nya). Keadilan jadi milik penguasa dan si empunya uang.
Kita pun menjawab fakta di atas melalui berbagai pengalaman keseharian kita hidup di bumi bangsa ini. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot dan uang) yang menceraikannya. Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini: Adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat, karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum seringkali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan 'orang kuat' hukum tak lagi memiliki taring. Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai 'negara hukum' seringkali hanya sebagai pemanis mulut.
Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang 'kedaulatan hukum' adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang. Didamba selalu berdekatan, tapi tak pernah menyatu. Bahkan bertemu sekalipun tak pernah. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis-maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan kekecewaan dan kesedihan.
Hukum ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Hukum juga harus memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan diskriminasi. Hukum mengemban misi kemanusiaan dan ingin menciptakan proses yang berperikemanusiaan. Kita semua hidup sedang menuliskan sebuah sejarah. Baik buruk, benar salah dan tegas plinplannya sebuah catatan sejarah masa mendatang berawal dari semua tindakan kita hari ini.
Ini semua masih soal pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan berhak sama. Dan, semua kesalahan harus diadili dengan cara seadil-adilnya. Itu cara mengembalikan martabat hukum.Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat dan koruptor, tapi tajam beringas menghukum kelas teri. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati karpet merah. Mantan pejabat dihukum di tempat tidak biasa. Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan oleh sikap arogan kekuasaan dan cara-cara tipu daya. Karena kekuasaan dan uang yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.
Reformasi hukum hanya bisa tercapai bila ada kemauan pemegang kekuasan untuk menjadi hukum sebagai pijakan untuk menegakkan keadilan bagi semua. Keadilan hukum akan tercapai bila penguasa menjalan politik will hukum menjadi panglima dalam segala keputusanya bukan berdasarkan kepentingan politik. Menurut Aristoteles Keadilan adalah tindakan yang terletak di antara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Keadilan berasal dari kata “Adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak: memihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran: sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Pada hakikatnya, keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan haknya. Dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...