Reformasi Pendidikan dan Pembebasan Bangsa
SATUHARAPAN.COM - Seorang teman dari Myanmar, kepala sebuah lembaga studi politik dan kemasyarakatan di sana mengatakan, ibarat perjalanan politik Indonesia, saat ini Myanmar sedang berada di masa kepemimpinan Habibie.
Di satu sisi kita dapat merasa cukup lega bahwa Indonesia telah melalui ‘Reformasi’ jauh hari sebelum Myanmar. Indonesia dapat dikatakan juga jauh lebih maju dari bangsa-bangsa Arab yang baru-baru ini saja saling getok tular sama-sama bergerak untuk perubahan dalam ‘Arab Spring’ sejak 2010 lalu.
Namun di sisi lain, mungkin kita harus mengamini kenyataan bahwa, setelah hampir 16 tahun reformasi ‘98, perubahan sosial demi masyarakat Indonesia yang lebih baik ternyata belum bisa dicapai. Apa yang dicapai setelah reformasi malahan mirip buah simalakama yang terpaksa harus kita telan.
Kekerasan antar kelompok pasca-reformasi telah menimbulkan kerugian bangsa yang sangat besar. Pada fase selanjutnya, gelombang diskriminasi dan penganiayaan kepada kelompok-kelompok minoritas terus meningkat. Lalu saat ini, korupsi bukannya semakin menurun malah merajalela. Belum lagi praktik politik ‘dagang-sapi’ para politikus yang semakin membudaya, telah mengubah wajah demokrasi Indonesia menjadi lingkaran setan ‘demo-crazy’ yang sulit untuk dilepaskan. Indonesia bukan semakin baik malah semakin rusak.
Terpenjara dalam Kebodohan
Dulu, banyak orang berharap bahwa reformasi akan benar-benar bisa melepaskan beban-beban berat bangsa ini, sehingga Indonesia dapat lebih leluasa bergerak maju. Ibarat burung dalam sangkar, reformasi adalah masa di mana pintu sangkar terbuka lebar dan si burung dapat lepas terbang tinggi.
Apa yang terjadi sekarang jelas jauh dari cita-cita itu. Burung yang mau terbang tadi tetap tidak dapat pergi dari sangkarnya karena ternyata ada tali yang mengikat kakinya dengan erat. Ya, seperti si burung yang kurang beruntung itu, Indonesia adalah bangsa yang terpenjara. Terpenjaranya Indonesia ini disebabkan lebih karena kebodohannya sendiri. Kebodohan telah memenjarakan bangsa ini.
Kebodohan dapat dengan mudah kita jumpai di mana-mana. Mulai dari hal-hal kecil dalam hidup keseharian hingga urusan-urusan penting publik yang berimplikasi pada banyak orang. Kebodohan dilakukan oleh hampir semua orang, baik mereka yang katanya berpendidikan tinggi hingga mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mulai dari para pemimpin pemerintahan, politisi, tokoh agama, jurnalis, guru, pengacara, mahasiswa, buruh dan seterusnya. Kebodohan yang dibuat oleh mereka yang berpendidikan tinggi biasanya malah memberi dampak lebih parah karena pertama, mereka biasanya tidak merasa bahwa dirinya bodoh, kedua karena mereka biasanya memiliki posisi-posisi yang kuat dalam masyarakat.
Kebodohan juga menjadi sumber virus ketidakpedulian sosial. Setiap hari kita semakin merasakan adanya degradasi kepedulian sosial. Orang semakin tidak peduli pada yang lain, apalagi yang berbeda. Berbagai perbedaan etnis, agama dan kelas berhenti sebagai pembeda dan menjadi sumber konflik. Jurang pemisah semakin lebar yang mengakibatkan ketidaksetaraan dan kesenjangan. Setiap orang atau kelompok bisa dengan mudah menjadi musuh bagi orang atau kelompok lainnya. Relasi sosial dimaknai sebagai persaingan. Bhinneka Tunggal Ika jelas hanya isapan jempol.
Ketidakpedulian sosial telah menjadi budaya hampir semua lapisan kelas masyarakat. Kelas atas lebih mementingkan kenyamanannya. Yang penting bagi mereka adalah diri mereka sendiri dan jangan sampai kenyamanan hidup yang selama ini telah mereka nikmati terusik. Untuk itu, kelas atas rela melakukan berbagai cara agar ia beserta keluarga besarnya tetap hidup nyaman dan tidak turun kelas.
Kelas menengah sibuk mencari kemapanan. Sebagian dari mereka hanya bisa mengeluh tentang kehidupan sosial yang carut marut tetapi tidak juga bergerak melakukan sesuatu. Hampir semuanya menjadi peserta aktif masyarakat konsomasi. Sementara kelas bawah, sibuk mencari makan dan bertahan hidup. Memikirkan politik, masyarakat dan orang lain adalah barang mewah bagi mereka.
Reformasi Pendidikan dan Pembebasan
Hari pendidikan nasional sesungguhnya dapat menjadi momentum yang tepat bagi bangsa ini ini untuk merefleksikan kembali bagaimana seharusnya bangsa ini benar-benar dapat terbebas dari penjara kebodohan. Untuk itu, yang dibutuhkan secara mendasar, adalah mereformasi dunia pendidikan.
Pendidikan seharusnya merupakan proses untuk mengenyahkan kebodohan. Sayangnya saat ini pendidikan telah menjadi lahan pasar yang menggiurkan para kapitalis, selain menjadi lahan kontestasi ideologi. Nilai-nilai keutamaan dalam pendidikan semakin ditinggalkan karena kepentingan pasar dan ideologi itu, sehingga banyak institusi pendidikan bukanlah tempat yang dapat membuat peserta didik menjadi cerdas, sebaliknya semakin bodoh. Fenomena banyaknya politisi bodoh yang kembali terpilih sebagai anggota legislatif dalam pileg yang lalu, misalnya, mencerminkan bahwa para pemilih kita masih belum cerdas. Masyarakat yang bodoh akan memilih dengan bodohnya mereka yang bodoh pula.
Reformasi pendidikan dapat dimulai dengan mengembalikan pendidikan pada fungsi utamanya yaitu untuk mencerdaskan bangsa. Menjadi cerdas bukan berarti menelan segala informasi dan pengetahuan, karena tidak semua informasi dan pengetahuan bersifat mencerdaskan.
Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang memampukan individu dan masyarakat untuk berpikir kritis dan mandiri sekaligus mampu memikirkan kehidupan bersama (peduli) sebagai bangsa, sebagai sebuah komunitas yang berkohabitasi dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang mampu melahirkan manusia-manusia yang berkeutamaan dan berkepedulian sosial. Dari situ nantinya akan lahir masyarakat yang cerdas yang akan memilih para pemimpin yang juga cerdas. Kehidupan politik pun akan semakin bermartabat.
Penulis adalah pengajar di Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia dan Penggiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif (LSP-Progresif)
Ketum PGI: Jadilah Pembawa Harapan di Tengah Dunia yang Penu...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Dalam ketidakberdayaan dan solidaritas Allah yang hadir bagi yang kecil, te...