Rehat Belanja Black Friday, Bumi Tak Sanggup Lagi
JERMAN, SATUHARAPAN.COM - Black Friday dan Cyber Monday diperkirakan akan menghasilkan miliaran dolar pejualan pakaian dan produk lainnya. Tetapi musim belanja ini juga menghasilkan jumlah sampah yang sangat besar. Ini kabar buruk bagi lingkungan, menurut Dr Kirsten Brodde kepala kampanye global Detox my Fashion di Greenpeace Jerman pada Jumat (25/11), seperti dilansir situs greenpeace.org
Ia mengatakan, jika dulu manusia prasejarah berlarian di tengah hutan untuk mencari buruan, kita berburu diskon pakaian yang seolah nampak seperti deal yang bagus. Fenomena seperti ini tampak di Amerika, setiap tahunnya, di Jumat terakhir bulan November, saat orang berbondong-bondong mengantre sejak pagi hari.
Black Friday, diikuti oleh Cybermonday, dimaksudkan untuk menandai mulainya musim belanja besar, saat orang mulai membeli hadiah untuk natal. Keduanya menggunakan diskon besar-besaran dengan “penawaran khusus” untuk konsumen, yang memicu barang murah jumlah banyak dan sebagai hasilnya: konsumsi berlebih yang tidak perlu.
Karena sangat murah, fast fashion adalah salah satu kategori barang yang paling banyak terjual saat Black Friday, dengan beragam merek-merek fesyen ternama menjadi promotornya.
Meski sangat sulit untuk menolak rayuan “outfit kekinian”, penelitian mengenai konsumsi menunjukkan, bahwa ritual berbelanja hanya memberi kita ledakan kegembiraan yang sangat singkat, bukan nilai kebahagiaan yang bertahan lama. Di lain pihak, dampak terhadap lingkungan bertahan jauh lebih lama dan sangat nyata.
Ia menambahkan, Greenpeace, telah menunjukkan bagaimana produksi fesyen membutuhkan air bersih kita yang sangat berharga dalam jumlah yang sangat besar, serta mencemari sungai dan laut kita dengan bahan kimia beracun berbahaya, bahkan jauh sebelum berada di rak pajangan. Kita juga telah mengkonsumsi dan membuang pakaian dengan jumlah yang sangat tinggi, jauh dari kemampuan bumi kita menanggungnya.
Peretail fesyen, telah mempercepat perubahan tren sejak 1980an, meningkatkan angka pakaian “pakai-buang”, siklus penggunaan barang-barang konsumsi menjadi 50 persen lebih pendek antara tahun 1992 hingga 2002. Laporan terbaru menunjukkan penduduk Hongkong membuang setidaknya 1400 kaos per menit.
Tren Hari Ini, Sampah Kemudian Hari
Kita diberitahu bahwa pakaian bisa didaur ulang, tetapi pasar barang bekas telah dipenuhi pakaian bekas yang membludak. Penelitian Greenpeace menemukan jumlah limbah pakaian bekas yang lengkap dan komprehensif tidak mudah ditemukan. Tetapi, kita tahu pasti bahwa di Uni Eropa sekitar 1,5 hingga 2 juta ton pakaian bekas dihasilkan setiap tahunnya, dengan hanya sekitar 10 hingga 12 persen pakaian berkualitas yang dijual kembali, dan hampir seluruh sisanya diekspor ke negara selatan. Beberapa negara di Afrika Timur, yang saat ini mengimpor pakaian bekas dari Eropa dan Amerika, mempertimbangkan untuk melakukan pembatasan guna melindungi pasar lokal mereka.
Saat ini, setiap tekstil yang kita beli akan berakhir di sebagai sampah, dibakar di mesin insinerator atau di buang di TPA.
Solusi satu-satunya adalah, dengan mengurangi tinggkat konsumsi kita. Ini secara sederhana bisa dilakukan dengan rehat belanja selama Black Friday, dan berpartisipasi dalam kampanye global “Buy Nothing Day”.
Hari simbolis ini, mengundang orang untuk berhenti berbelanja untuk sehari, dan merefleksikan apa yang benar-benar mereka butuhkan.
Greenpeace mendukung pesan “Buy Nothing Day” dan menyatakan “Waktu habis untuk Fast Fashion”.
Ini adalah waktunya untuk menyingkirkan mentalitas “tinggal buang”, dan memikirkan ulang apa yang benar-benar kita butuhkan untuk busana kita, dari pada mengantre untuk setelan murah terbaru. Kita bisa memakai pakaian kita lebih lama, menjaga, memperbaiki, mendesain ulang dan memberi nyawa baru dengan bertukar pakaian dengan teman.
Ini saatnya bagi merek-merek fesyen, untuk menemukan kembali jati dirinya dan mendesain pakaian yang benar-benar kita butuhkan, didesain dengan kualitas yang lebih baik, tahan lama dan bisa digunakan kembali. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat fesyen cocok untuk masa depan.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...