Rekonsiliasi Irak Terhambat Polarisasi Politik
BAGHDAD, SATUHARAPAN. COM – Rekonsiliasi di Irak terhalang oleh polarisasi politik dan kepentingan-kepentingan kelompok dan pribadi. Upaya yang dilakukan oleh Perdana Menteri Haider Al-Abadi, menghadapi "tantangan besar" hampir di semua aspek.
Pejabat PBB di Irak memperinagtkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bahwa setelah satu tahun pemerintahan Al-Abadi, proses membangun politik yang inklusif terus terhalang dan belum mampu memenuhi harapan masyarakat.
Sementara itu, Wakil Khusus Sekjan PBB untuk Irak, Jan Kubis, mengatakan, "Sejak menjabat Perdana Menteri (Al-Abadi) telah berjuang untuk menggunakan wewenang, namun lawan-lawannya tumbuh menjadi lebih berani... dan dampak dari reformasi belum memenuhi harapan masyarakat."
"Meskipun dengan harapan bahwa dia akan mampu menggerakkan rekonsiliasi nasional dan membawa masyarakat Sunni yang lebih luas terlibat dalam proses politik, upaya Perdana Menteri telah terhalang oleh unsur-unsur di dalam pada semua komponen di Irak. Alasan utamanya adalah kurangnya kepercayaan dan kepentingan pribadi," kata Kubis.
Kubis mengatakan bahwa terjadi polarisasi dalam politik di Irak, namun Al-Abadi terus aktif memimpin upaya untuk memenuhi agenda dan program reformasi, bahkan di tengah hambatan keamanan, tantangan politik, sosial, dan kemanusiaan yang meningkat, termasuk masalah anggaran." Krisis fiskal dan defisit anggaran negara itu tumbuh akibat penurunan tajam harga minyak global, dan meningkatnya kekhawatiran.
Rekonsiliasi Inklusif
Misi Bantuan PBB di Irak (UNAMI), yang dikepalai Kubuis "siap membantu upaya mempromosikan proses rekonsiliasi inklusif yang menghormati konstitusi, persatuan, kedaulatan dan ketertiban Irak," kata Kubis.
"Ada kebutuhan penting untuk menunjukkan kemauan politik, dan komitmen dalam kompromi bersejarah dan rekonsiliasi nasional, terlepas dari perbedaan pandangan dan risiko politik, untuk memanfaatkan sinyal dari beberapa pemimpin Sunni dan kelompok di luar yang siap untuk bergabung," kata dia.
Tantangan keamanan yang utama, menurut Kubis, adalah Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang terus bergerak ke Irak tengah dengan terus memiliki dana dan kapasitas militer untuk memperpanjang teror pada pemerintahan di sebagian besar wilayah Irak.
Kubis memperingatkan tentang perbedaan pendapat yang mendalam di antara partai politik besar di wilayah Kurdistan yang telah lama menjadi sumber stabilitas dan pembangunan di Irak, namun sekarang bisa terancam.
Bantuan Kemanusiaan
Perkembangan positif yang dicatat adalah bahwa Tikrit telah direbut kembali dari tangan NIIS, dan hampir seluruh penduduknya yang mengungsi, sekitar 155.000 orang, telah kembali.
Namun, kata dia, situasi kemanusiaan secara keseluruhan tetap dalam "keprihatinan paling parah ... melebihi kapasitas kolektif PBB untuk merespon. "Karena sebagian besar pengungsi ingin tetap di Irak, cara terbaik adalah memberi dukungan kemanusiaan untuk mencegah mereka meninggalkan negara dan bermigrasi ke negara-negara ketiga, terutama ke Eropa," kata dia. (un.org)
Kepala Militer HTS Suriah Akan Membubarkan Sayap Bersenjata
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Kepala militer "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS) Suriah yang menang m...