Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 23:04 WIB | Kamis, 17 Maret 2016

Relawan atau Partai Politik? Dilema Peradaban Demokrasi

Warga memberikan dukungan kepada Ahok dengan mengisi formulir dan memberikan fotocopy KTP di salah satu posko Teman Ahok di Mall Ambassador, Jakarta, Sabtu 25 Juli 2015 (Foto: Antara).

DEPOK, SATUHARAPAN.COM – Basuki Tjahaja Purnama telah memutuskan maju dalam kontes Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017 mendatang lewat jalur independen dengan dukungan tim relawannya, Teman Ahok.

Teman Ahok pun kini tengah berusaha mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga DKI‎ Jakarta. Meskipun sebelumnya telah memperoleh sekitar 700 ribu KTP warga Ibukota, namun Teman Ahok terpaksa kembali ke titik nol.

Karena, syarat yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menyatakan bahwa dukungan yang diberikan kepada calon independen tidak boleh perseorangan, harus calon gubernur dan wakilnya.

Fenomena Ahok dan Teman Ahok mengingatkan perjuangan Joko Widodo dalam kontes Pemilihan Presiden 2014 silam. Kala itu sejumlah nama kelompok relawan bermunculan, seperti Seknas Jokowi, Bara JP, dan Pro Jokowi. Barisan relawan itu mendorong PDI Perjuangan mengusung nama Joko Widodo sebagai calon Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.

Melihat bermunculannya barisan kelompok relawan mendukung calon pemimpin idamannya itu, sosiolog dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Yohanes Gede, menilai fenomena itu merupakan bentuk ekspresi ekstrem dari depolitisasi yang terjadi di era Orde Baru.

Namun, dia menyayangkan, eksepresi tersebut diperjuangkan secara individualistis.‎ Karena seharusnya, politik merupakan langkah merumuskan kepentingan bersama. ‎

"Politik itu merumuskan bersama apa yang menjadi kepentingan bersama. Sayangnya, relawan ini berjuang secara individualistis," kata Yohanes kepada satuharapan.com, di lingkungan Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, hari Kamis (17/3).

Tak Punya Suara

Menurutnya, perjuangan individualistis para relawan akan berdampak buruk ke depannya, kala sang calon yang diusung menjadi sosok terpilih. Sebab, menurutnya, relawan tidak bisa mengambil alih fungsi kontrol yang merupakan domain partai politik di dalam negara penganut sistem demokrasi.

Bahkan, dia menambahkan, bila nantinya kelompok barisan relawan itu hanya menjadi organisasi kemasyarakatan, kekuatan maksimal yang dimiliki hanya memengaruhi kebijakan yang akan diambil calon usungannya.

“Partai politik punya kekuatan untuk menentukan kebijakan negara, itu yang tidak dimiliki relawan dan organisasi kemasyarakatan,” ujarnya.

Menurut Yohanes, dengan menjadi sebuah partai politik, maka kelompok barisan relawan tersebut akan bisa ambil bagian dalam mengambil kebijakan dan posisi untuk melakukan diplomasi internasional.

“Misalnya tidak setuju dengan sebuah pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh negara lain, bagaimana relawan menentangnya? Tidak bisa, karena itu bagiannya partai politik,” ucap Yohanes

Harus Menjadi Parpol

Oleh karena itu, dia menyarankan, kelompok barisan relawan tidak melakukan penolakan terhadap partai politik. Sebab, dia kembali menegaskan, di dalam negara demokrasi, partai politik memegang peran untuk menjalankan fungsi negara.

Yohanes melanjutkan, kondisi partai politik yang ada saat ini buruk tidak lantas membenarkan bahwa relawan merupakan solusi alternatif untuk mengusung seseorang menjadi calon pemimpin.

Dia berpendapat, masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa calon pemimpin yang diusungnya memiliki kepentingan yang harus terus mendapatkan dukungan pasca-terpilih. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh partai politik, bukan relawan dan organisasi kemasyarakatan.

“Indonesia memang krisis kepemimpinan publik. Tapi yang harus disadari, para pemimpin yang terpilih ini nantinya manusia biasa juga, bukan super hero yang butuh mendapatkan dukungan secara konsisten,” tuturnya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home