Remisi untuk Koruptor, dari Kaca Mata Rakyat
SATUHARAPAN.COM – Rencana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasona Hamonangan Laoly, untuk memberikan remisi (pengurangan hukuman) bagi terpidana korupsi mengundang berbagai protes di kalangan masyarakat.
Rencana ini dinilai sebagai kabar buruk yang terus terjadi bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana kejahatan luar biasa ini telah dilakukan dengan lebih terang-terangan, dan dengan kerusakan yang ditimbulkan makin kerius. Namun demikian, tentu ini kabar baik bagi korutor.
Salah satu alasan yang dikemukakan Menteri Yasonna Laoly adalah setiap narapidana memiliki hak yang sama untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, termasuk terpidana kasus korupsi.
Sementara itu tentang pemberian remisi diatur dengan Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat serta kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Selama ini yang terjadi adalah narapidana memperoleh remisi pada hari kemerdekaan RI, hari raya Idul Fitri dan hari raya Natal. Banyaknya remisi itu, bahkan bisa membuat banyak sekali pengurangan hukuman penjara. Ini karena remisi hanya melihat hak narapidana, dan cenderung abai pada rasa keadilan rakyat, terutama narapidana korupsi yang mencuri uang rakyat.
Hak untuk Siapa?
Remisi, menurut mantan ketua Mahkaman Agung, Prof. Dr. Bagir Manan adalah kebaikan kepala negara atau raja kepada terpidana. Dan dulu hanya diberikan pada 17 Agustus hari kemerdekaan. Menkumham menyebutkan remisi adalah hak setiap narapidana. Namun tampaknya juga harus dilihat bahwa remisi juga bagian dari proses pemidanaan dan pembinaan narapidana.
Oleh karena, remisi sebaiknya dilihat secara utuh. Kebaikan kepala negara yang diberikan kepada narapidana haruslah bisa diukur bahwa itu memang sebuah kebaikan, dan tidak diharapkan menjadi transaksi kepentingan.
Dalam konteks ini, rakyat memang pantas menjadi ‘‘berang’’ oleh rencana remisi bagi koruptor. Sebab, banyak warga negara yang tidak pernah melanggar hukum, namun terlalu sedikit atau nyaris tidak merasakan kebaikan negara, sementara koruptor yang merusak negara diperhatikan dan diberi kebaikan.
Namun apakah semua narapidana memiliki hak yang sama untuk mendapatkan remisi. Hal itu semestinya diperopleh bagi narapidana yang mengakui kesalahannya dan menyesali, bahkan perubahan perilaku ditunjukkan dengan membantu dalam mengungkap dan memberantas korupsi. Maka tidaklah bisa hak itu diberikan sama pada narapidana yang menjadi justice colaborator, dengan yang tidak menunjukkan jera atas kejahatannya.
Dengan demikian pemberian remisi dan pemenuhan hak narapidana itu bisa diukur dan sejalan dengan pengukuran kebaikan negara dengan rasa keadilan di masyarakat. Kita juga perlu menutup buku tentang kisah negatif pemberian remisi.
Pemidanaan dan Pembinaan
Dalam konteks remisi sebagai bagian dari pemidanaan dan pembinaan, maka ukuran-ukuran tentang proses dan perubahan perilaku menjadi sangat penting, terutama dalam kaitan untuk mencapai rasa keadilan di masyarakat.
Oleh karena itu, remisi menjadi gagal ketika diterapkan dan justru mereduksi efek jera pemidanaan, dan menggagalkan pembinaan dengan terjadinya perubahan perilaku. Menkumham haruslah mengkaji dengan cermat apakah remisi selama ini telah diposisikan dengan benar dan memberi dampak yang semestinya dalam penegakkan hukum dan keadilan.
Melihat indikasi bahwa korupsi yang makin marak, dan kejahatan makin terorganisasi, pemberian remisi harus dikoreksi, khususnya pada koruptor. Dan sebagai bagian pembinaan, catatan proses dan keputusan hukum yang terjadi harus jadi pertimbangan. Kemenkumham tidak bisa menutup buku proses hukum terpidana dalam memberikan remisi.
Lebih Ketat
Spirit hukuman sebagai bukan pembalasan dendam, tetapi kesempatan perubahan, memang mengharuskan adanya kesempatan memperoleh remisi. Namun hak ini harus diperoleh dengan terpenuhinya syarat yang dilaksanakan secara ketat.
Selain catatan perubahan perilaku dan mau menjadi justice colaborator, remisi juga tidak bisa diobral seperti selama ini diberika pada hari raya keagamaan dan hari kemerdekaan. Harus ada batasan, dan beberapa pandangan yang baik diperhatikan yang menyebut remisi cukup sekali setahun pada hari kemerdekaan.
Namun apakah remisi juga pantas untuk koruptor? Ketika remisi diposisikan dengan benar masalahnya tidak pada jenis apa kejahatannya, melainkan apakah pemidanaan dan pembinaan telah memenuhi keadilan. Remisi yang diberikan secara sembarang justru bisa menjadi bagian dari pembusukan hukum dan keadilan.
Tentang remisi, telah banyak dibahas, justru sekarang masalahnya terletak pada apakah pejabat negara yang diberi wewenang melaksanakan pemberian remisi ini memiliki kredibilitas untuk wewenang itu, dan setiap keputusannya bisa diukur dan dipertanggungjawabkan.
Ini yang mestinya direnungkan oleh Kemenkumham, di mana setiap remisi yang diberikan pada narapidana tidak hanya dilihat dari kacamata pelaku korupsi, tetapi terutama harus bisa dibenarkan oleh rasa keadilan rakyat sebagai korban para koruptor.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...