Renungan Natal 2019: Ketika Yusuf Berjalan Bersama Maria
SATUHARAPAN.COM – Yakinlah, memenangkan banyak pertempuran tidak semata menyenangkan. Sebab, jelas, ada tanggung jawab yang menyertainya. Kondisi demikian dipahami benar oleh Kekaisaran Romawi yang memang memiliki banyak taklukan. Apalagi, tentu saja, tidak ada bangsa yang dengan senang hati dan sukarela menjadi taklukan bangsa lain. Jadi, siap-siap saja, begitu Kekaisaran Romawi lengah, akan segera muncul berbagai pemberontakan di berbagai tempat.
Hal inilah, antara lain, yang menjadi latarbelakang diselenggarakannya pendataan penduduk alias sensus nasional di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Dengan mengetahui jumlah penduduk, lengkap dengan keahlian dan kekayaan mereka, pemerintah memiliki data untuk membuat kebijakan yang tepat dan berguna, baik bagi pemerintah, juga bagi masyarakat.
Salah satu sensus tersebut dilakukan pada masa pemerintahan Kaisar Agustus, sebagaimana dicatat dalam Injil Lukas (2:1), sehingga “… pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.” (ayat 3)
Yusuf, pastinya, juga harus mendaftarkan diri di kota asal keluarganya. Bersama warga lain, ia bersiap-siap mudik. Yusuf bisa membayangkan betapa kegiatan sensus nasional ini akan menyibukkan setiap dan semua kota yang akan dilewatinya. Jadi, jauh lebih baik jika ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jangan sampai perjalanannya tertunda dan ia tiba di kampung halaman lewat dari batas waktu yang ditentukan. Jangan sampai namanya tidak tercatat di sana. Bisa gawat kalau begitu!
Apalagi, Yusuf melirik perempuan di sebelahnya yang sedang memasukkan bekal perjalanan mereka ke dalam sebuah keranjang. Perjalanan ini tidak dilakukannya sendirian. Ada Maria, tunangannya, yang akan ikut serta. Sesungguhnya, dan sebenar-benarnya, Yusuf tidak keberatan mudik ditemani Maria. Ia jadi punya teman bicara. Juga teman tertawa. Mereka pasti bisa saling bercerita sepanjang jalan. Betapa menyenangkan!
Masalahnya, Yusuf mengernyit bagai menahan nyeri, Maria sedang hamil tua. Akankah ia kuat melakukan perjalanan itu? Akankah ia baik-baik saja dalam perjalanan? Apa yang harus ia lakukan kalau terjadi sesuatu pada Maria?
Memang, karena hampir semua orang mudik, mereka pasti tidak akan sendirian di jalan. Tetapi, bukankah setiap orang memiliki kerepotannya sendiri? Bagaimana kalau Maria terpaksa melahirkan di jalan? Bagaimana kalau ia hanya sendirian menemani Maria yang melahirkan? Ia belum pernah punya pengalaman menolong perempuan yang melahirkan!
Yusuf menggaruk-garuk kepalanya. Dilanjutkan dengan menarik napas panjang. Apapun dan bagaimana pun situasi yang akan dihadapi nanti, mereka tetap harus berangkat. Baiklah, dijalani saja dulu. Bukankah Marthin Luther King, Jr. pernah bertutur bijak, “You don’t have to see the whole staircase, just take the first step”? – Yusuf memutuskan untuk mulai melakukan langkah pertamanya menuju kota asal keluarganya: Betlehem.
***
Yusuf mengusap peluh di dahinya. Ia sungguh lega selega-leganya. Puji Tuhan, Maria sudah melahirkan dengan selamat. Baik sang ibu dan Sang Putra, keduanya sehat dan selamat. Maria memang terlihat lelah, tetapi senyumannya tadi memberi Yusuf kepastian ia baik-baik saja. Bahkan, Sang Putra –yang, kata malaikat dalam mimpinya, harus dinamai Yesus (bdk. Matius 1:21)– tampak cerah berseri-seri. Tuhan benar-benar tidak meninggalkan kami, Yusuf bergumam penuh syukur.
Yusuf mengingat perjalanan panjangnya yang lebih lambat daripada teman-teman yang lain. Maria mudah lelah karena kehamilannya. Mereka harus sering berhenti. Padahal, mereka dikejar waktu. Juga, tidak tiap tempat berhenti memiliki kelengkapan yang dibutuhkan seorang ibu hamil.
Yusuf ingat, betapa ia cemas Maria tidak berhasil sampai di tujuan. Betapa ia berkali-kali ingin menyerah saja, membiarkan dirinya dan Maria tidak terdaftar dalam sensus nasional. Betapa ia terpikir untuk menitipkan Maria di salah satu kampung yang dilewati agar ia bisa berjalan lebih cepat. Yusuf menggelengkan kepalanya.
Mendadak Yusuf sadar. Sesungguhnya perjalanannya bersama Maria menjadi gambaran perjalanan Tuhan bersama manusia. Tuhan sebetulnya bisa saja berjalan sendiri. Tapi, Ia justru memilih menemani manusia. Padahal, berjalan bersama manusia kerap mengesalkan. Karena manusia kerap tidak fokus pada tujuan perjalanan, melainkan bermain-main sepanjang jalan. Syukurlah, Tuhan tidak menyerah. Ia setia menyertai manusia.
Natal, dengan demikian, bukan hanya peristiwa di Betlehem. Melainkan, juga, ketika Yusuf dan Maria berjalan menuju Betlehem. Natal adalah ketika Tuhan dengan setia menemani manusia (baca: kita!) berjalan hingga tiba pada tujuan.
Memang tepat kata malaikat kepada Yusuf, "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia, Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita.” (ayat 23).
Selamat datang, Sang Imanuel! Soli Deo Gloria!
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...