Revisi KUHP Ada Pasal Penghinaan pada Presiden, Ditentang
SATUHARAPAN.COM – Draft revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR awal Juni lalu memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden. Ditentang banyak pihak.
Salah satunya, pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr. Johanes Tuba Helan, MHum berpendapat, pasal penghinaan terhadap presiden tak perlu ada karena semua orang sama di depan hukum.
“Dalam negara hukum berlaku prinsip persamaan di hadapan hukum, sehingga menghina presiden sama dengan menghina tukang ojek atau buruh, maka di proses menggunakan KUHP. Tidak perlu ada undang-undang atau pasal khusus,” kata Johanes Tuba Helan di Kupang, Rabu (5/8).
Pemerintah mengusulkan pasal penghinaan terhadap presiden ini dimasukkan dalam draft revisi KUHP dan telah diserahkan kepada DPR pada awal Juni lalu.
Menurut dia, munculnya usulan pasal khusus tentang penghinaan terhadap kepala negara justru akan menimbulkan polemik hukum.
“Saya juga sangat tidak setuju jika presiden dihina karena merupakan simbol negara. Siapa pun itu harus di proses secara hukum, tetapi tidak perlu menggunakan pasal khusus,” katanya.
Apalagi sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal yang mengatur tentang penghinaan presiden, kata mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT ini.
Dia menambahkan, jika ada pengamat atau rakyat bangsa ini yang melancarkan kritik terhadap kebijakan presiden merupakan bagian dari proses berdemokrasi.
“Kita juga khawatir kalau pasal ini bisa disalahtafsirkan oleh aparat penegak hukum dan itu akan berdampak pada kehidupan berdemokrasi bangsa ini,” katanya.
Dalam kaitan ini maka dia berharap, pemerintah mempertimbangkan kembali untuk memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden ini dalam draft revisi KUHP.
DPR: Tak Boleh Masuk KUHP
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pemerintah dalam draft revisi UU KUHP harus dicabut karena bisa menjadi instrumen membungkam pihak pengkritik presiden.
“Pasal tersebut tak boleh masuk KUHP dan harus dicabut. Ini dapat menjadi instrumen pemerintah untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik Presiden,” katanya di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan saat ini bukan zamannya lagi Presiden takut dikritik atau diprotes oleh masyarakat sipil, media, intelektual, mahasiswa atau masyarakat umumnya.
Menurut dia usulan Pemerintah memasukkan pasal penghinaan Presiden ke dalam RUU KUHP merupakan kemunduran hukum di Indonesia.
“Sebab, pasal karet itu sudah pernah dibatalkan MK tahun 2006, karena tidak jelas batasannya dan justru malah menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Menurut dia apabila Presiden mengusulkan lagi pasal penghinaan Presiden, artinya sama saja Presiden membuat aturan yang bertentangan dengan konstitusi sesuai keputusan MK.
Dia menegaskan Presiden harus taati keputusan MK karena keputusannya bersifat final dan mengikat.
“Saya khawatir Pak Jokowi belum baca keputusan MK tersebut? Atau malah tidak tahu rancangan usulan pemerintah ini,” kata Fadli.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, Presiden Jokowi menyelipkan satu Pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut sebenarnya sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2006.
Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: “setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.
Pasal selanjutnya makin memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam Pasal 264, yang berbunyi:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.
Setara: Inkonstitusional
Ketua Setara Institute Hendardi juga mengatakan rencana memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tindakan yang inkonstitusional.
“Pasal itu sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006 yang menyidangkan perkara Nomor 013/PUU-IV/2006,” kata Hendardi melalui pesan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.
Hendardi mengatakan norma yang sudah dibatalkan MK tidak boleh diambil kembali menjadi sebuah norma dalam undang-undang baru.
“Bila dipaksakan dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” tuturnya.
Menurut Hendardi, keinginan untuk menghidupkan kembali pasal tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Hal itu menunjukkan ketidakpahaman pemerintah terhadap praktik ketatanegaraan Indonesia
Pemerintah mengusulkan revisi Undang-Undang KUHP kepada DPR. Pembahasan revisi undang-undang itu sedang dibahas Komisi III bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam rancangan undang-undang tersebut, pemerintah mengajukan 786 pasal. Pasal 263 Ayat (1) menyebutkan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV bagi setiap orang yang menghina presiden atau wakil presiden di muka umum.
Sedangkan Pasal 264 menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman penghinaan tersebut sehingga terdengar oleh umum dapat dipidana dengan hukuman yang sama. (Ant)
Ikuti berita kami di Facebook
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...