“Revisi UU KPK Membunuh KPK”
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR, memprihatinkan banyak pihak lantaran isinya ternyata justru melemahkan KPK. Aktivis anti korupsi, Romo Benny Susetyo, menuturkan, revisi UU KPK justru akan membunuh KPK secara perlahan-lahan. “Revisi UU KPK sebenarnya tidak urgent, lebih penting UU Tipikor daripada UU KPK,” kata Romo Benny.
Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat di Grha Oikoumene, Jakarta, hari Selasa (9/2).
Ia menilai jika DPR tetap untuk merevisi UU KPK, maka jelas DPR ingin membunuh KPK secara perlahan. Sehingga nantinya KPK akan mandul sebagai lembaga pengawas keuangan negara.
Dia berharap Presiden Jokowi juga tidak menyetujui revisi UU KPK. Jika tidak, kepercayaan rakyat pada Jokowi terkait pemberantasan korupsi akan hilang. “Pak Jokowi sudah dicintai rakyat, maka jangan jauhkan Jokowi dengan nawacita-nya. Jika Jokowi setuju revisi UU KPK, Jokowi akan jauh dari nawacita, jauh dari rakyat,” ia menambahkan.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti. Menurutnya, ada empat poin rencana revisi UU KPK. Untuk melihat apakah rencana revisi ini demi penguatan pemberantasan korupsi atau sebaliknya memperlemahnya, menurut Ray, cukup diuji satu poin dari empat poin revisi.
“Yakni melihat pasal-pasal yang akan mengatur Badan Pengawas KPK. Dalam rancangan revisi, kewenangan Badan Pengawas seperti tumpang tindih pada lembaga lain di tubuh KPK dan bahkan pada dirinya sendiri. Keberadaan Badan ini dengan Majelis Etik. Jika ia misalnya menggantikan posisi Majelis Etik, maka kekuasaan yang ada pada dirinya justru jadi bertumpuk. Bisa membuat aturan main, lalu mengawasi dan memberi sanksi atas pelanggarannya,” kata Ray.
Yang juga unik, Ray menambahkan, badan ini disebut berada secara melekat dalam tubuh lembaga KPK, tapi pembentukan dan pengangkatannya ada di tangan presiden. Bukankah dengan begitu, badan ini bisa dilihat sebagai badan lain yang dimasukkan ke dalam struktur KPK.
“Dan karena ini dibentuk presiden tentu saja pertanggunganjawaban kinerjanya langsung ke presiden sebagai lembaga pembentuknya. Bukankah ini seperti memasukan kekuasaan presiden ke dalam lingkaran lembaga KPK,” katanya. Demikian pula soal kewenangan pemberian izin penyadapan yang akan dilakukan oleh penyidik KPK. “Kita belum pernah dengar bahwa Badan Pengawas dapat merangkap, sekaligus sebagai lembaga perizinan.”
Sementara itu, Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow, menilai, KPK tidak berjuang dalam pelemahan yang dilakukan DPR terhadap dirinya. Dia menilai saat ini KPK tengah dikepung dari berbagai penjuru untuk melemahkan fungsinya dalam pengawasan anggaran negara. “KPK dikepung dari berbagai macam penjuru. Ada yang lewat regulasi, ada yang lewat pengadilan dan juga internal KPK sendiri,” ujar Jeirry..
Dia melihat, kasus yang dihadapi KPK saat ini pernah dialami pada masa pemerintahan SBY tahun 2011. Namun, dia menyayangkan, usaha KPK dalam berjuang menolak pelemahannya masih kurang. “Kalau bagian dari publik mereka cenderung menolak revisi UU KPK, tapi mungkin mereka tidak fight dalam memperjuangkan dirinya sendiri,” ucap Jeirry.
Karena itu, dia menduga, ada pihak internal KPK yang sebenarnya ikut terlibat dalam pelemahan lembaganya. Dia mencontohkan kasus barter Novel Baswedan merupakan indikasi dari pelemahan KPK. Jika KPK membiarkan Novel dipindahkan, maka benar KPK tidak berjuang dalam pelemahan yang dilakukan terhadap lembaganya.
“Kalau Novel keluar dari KPK, artinya KPK tidak berjuang dalam melawan pelemahan KPK,” tegasnya. (pgi.or.id)
Editor : Bayu Probo
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...