Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 15:46 WIB | Minggu, 24 Juli 2016

Revisi UU Pemberantasan Terorisme Jangan Kebablasan

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Bambang Soesatyo. (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Reformasi sektor keamanan dalam negeri seharusnya terus bergerak maju dengan menunjukan konsistensi pada pendekatan hukum sipil  yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mendorong-dorong Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut menangani tindak pidana terorisme adalah cara berpikir mundur dan kontraproduktif dengan agenda reformasi.

Hal itu dikatakan oleh Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Bambang Soesatyo di Jakarta, hari Minggu (24/7).

“Tidak ada urgensi menambah atau memperluas tugas pokok dan fungsi TNI melalui revisi Undang-undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi UU yang satu ini tidak boleh kebablasan Pemanfaatan oleh negara atas kekuatan dan kemampuan TNI harus tetap berpijak pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,” kata dia.

Masalahnya, kata Bambang cakupan kebijakan dan strategi nasional dalam penanggulangan tindak pidana terorisme sangatlah luas. Ada langkah pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional dan kerja sama internasional.

“Kalau TNI dilibatkan dalam tugas memerangi tindak pidana terorisme, konsekuensi logisnya  pun akan sangat luas dan prinsipil. Semua konsekuensi  itu harus dipatuhi dan dijalankan, karena penanganan pidana terorisme masuk dalam kerangka penegakan hukum,” kata dia.

Karena itu, kata Bambang menempatkan dan memberi wewenang TNI sebagaimana tertuang dalam Pasal 43A ayat (3) dan 43B ayat (1) pada draft revisi UU nomor  15/3003 itu menjadi tidak masuk akal, dan bahkan tidak sejalan dengan agenda reformasi mewujudkan keamanan dan ketertiban umum di dalam negeri. Agenda ini menyepakati penegakan hukum yang berpijak pada hukum sipil.

“Kalau hukum sipil, segala sesuatunya harus tunduk pada KUHAP. Pelaksana KUHAP adalah polisi.  Dengan begitu, menjadi mustahil jika TNI juga ditugaskan menangani tindak pidana terorisme. Bukankah teroris yang ditangkap akan diproses secara hukum dan dihadapkan ke pengadilan. Kalau TNI menangkap teroris, proses hukumnya dilaksanakan oleh siapa,” kata dia.

Selain itu, kata Bambang kontribusi TNI dalam memerangi terorisme adalah sebuah keniscayaan. Sejatinya, bukan hanya TNI dan Polri, semua elemen rakyat pun harus berkontribusi mewujudkan keamanan dan ketertiban umum.  Namun, peran masing-masing elemen harus proporsional, sesuai peraturan perundang-undangan serta derajat tantangannya.

“Karena itu, kontribusi TNI dalam memerangi terorisme idealnya disesuaikan dengan kebutuhan, dan harus berdasarkan perintah  Presiden RI selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara,” kata dia. (Ant)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home