Revisi UU Pilkada, Untuk Siapa?
SATUHARAPAM.COM – Apakah pemerintah dan DPR akan merevisi UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan juga UU No 2/2008 tentang Partai Politik (Parpol)? Santer diberitakan bahwa revisi itu dilakukan demi kepentingan dua partai yang masih ribut berebut kepengurusan, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dengan UU yang ada sekarang, baik UU Pilkada maupun UU Parpol, ada kemungkinan besar dua partai yang masih dibelit konflik internal akan jadi penonton di pinggir arena kompetisi pemilihan kepala daerah. Kedua partai itu dalam dualisme kepengurusan, dan belum ada tanda-tanda kesepakatan kepengurusan mana yang sah. Itu berarti kedua partai bisa gagal mengajukan calon kepala daerah.
Pemilihan yang menurut KPU akan dilaksanakan pada Desember tahun ini akan meliputi pemilihan gubernur di sembilan provinsi, 36 kota, dan 224 bupati. Itu berarti 538 jabatan eksekutif (termasuk 269 jabatan wakil) yang penting akan diperebutkan.
Bukan hanya itu, praktik politik di Indonesia masih menempatkan kader dan pimpinan partai yang duduk di lembaga eksekutif dalam posisi penting untuk popularitas partai. Bahkan yang lebih penting sebagai sumber kuuangan partai. Proses pencalonan melalui partai juga biasa menjadi modus untuk penggalangan dana partai.
Cara pandang partai tampaknya masih belum berubah tentang posisi penting pilkada ini. Bahkan tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa sejak otonomi daerah diberlakukan hingg awal 2014 sudah ada 325 kepada daerah (gubernur, bupati dan walikota atau wakilnya) yang terjerat kasus korupsi.
Ironi dalam Legislasi
Jika UU Pilkada ini akan direvisi, maka hal itu akan menjadi ironi, bahkan sebagai demosntrasi telanjang tentang elite politik yang berpikiran naif mengabaikan rakyat. Revisi mungkin diperlukan, tetapi harus tegas argumentasinya dan proses yang benar.
Masalah akan muncul justru karena proses penyusunan UU sering melalui ‘’jalan pintas’’ tanpa dibuat dulu naskah akademiknya. UU dibuat langsung dalam pasal-pasal yang hanya disesuaikan dengan kepentingan mereka yang punya otoritas membuat UU. Hal ini bisa menjadi bahaya besar, karena prinsip-prinsip negara hukum dilanggar, padahal UU akan bersentuhan langsung dengan seluruh rakyat.
Masalah ini sebenarnya telah muncul ketika Koalisi Merah Putih di DPR hendak mengubah agar pilkada dilakukan oleh DPRD, dan tidak langsung oleh rakyat. Kelicikan apa yang sedang dimainkan, arahnya sudah jelas. Dan kemudian pasal tentang hal ini gagal disepakati, karena rakyat tetap meminta pemilihan secara langsung.
Akan menjadi ironi lagi, karena UU ini akan direvisi, bahkan sebelum dilaksanakan, dan belum diketahui apakan akan efektif. Dalam pemilihan kepala daerah mendatang yang dilaksanakan secara serentak, hal ini juga belum diketahui bagaimana nanti hasilnya. Lagi pula, setiap lima tahun, dan menjelang pemilu, UU Parpol dan UU Pemilu juga selalu berubah tanpa kajian yang mendalam.
Urus Diri Dulu
Tentang kaitan dengan situasi dua parpol, akan menjadi ironi yang makin naif bagi politik di Indonesia, jika revisi dilakukan hanya agar tetap terbuka peluang kedua partai bermasalah itu ikut pilkada, meskipun perselisihan belum selesai.
Pratai yang dirundung konflik, bahkan dengan kepengurusan ganda sebenarnya telah terseleksi secara alamiah dalam dinamika politik. Oleh karena itu, jika ada partai yang karena konflik internal gagal ikut dalam proses politik seperti pilkada, memang tak seharusnya diratapi secara berlebihan.
Kita bisa menggunakan logika yang sederhana saja: partai yang gagal mengelola rumah tangganya sendiri tampaknya lebih kecil bisa diharapkan mengelola rumah tangga yang lebih besart dan menjadi lebih baik, yaitu rumah tangga yang juga meliputi warga dari partai dan kelompok lain. Kita tak harus memaksakan bahwa partai yang tak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri akan menjadi solusi bagi rakyat di daerah itu, apalagi bangsa ini.
Pilkada haruslah tetap berjalan dengan agenda dan aturan yang sudah ada. Revisi bisa dilakukan untuk perbaikan berdasarkan evaluasi atas proses dan hasilnya. Kepada partai yang masih mengurusi perselisihan rumah tangganya, kita persilahkan untuk menguru diri sendiri dulu. Itu adalah risiko yang tidak harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...