Revolusi Mental ala Jokowi
SATUHARAPAN.COM - Joko Widodo (Jokowi), calon presiden dari PDIP itu datang ke Kota Tomohon, Minahasa, Sabtu, 10 Mei. Ia berkunjung ke Pasar Tomohon yang khas dengan macam-macam hewan hutan yang siap dijual. Ia berdialog dengan pedagang dan pengunjung pasar yang mengerumuninya.
Ia juga memberikan kuliah umum di depan dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Manado di Auditorium Bukit Inspirasi, gedung kebanggaan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang diresmikan Soeharto tahun 1980, bertepatan dengan Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Jokowi datang pada hari yang sama ketika harian nasional Kompas menerbitkan tulisannya berjudul “Revolusi Mental.”
Biasa-biasa saja tapi Menarik
Tema dan isi tulisan Jokowi sebenarnya biasa-biasa saja. Ia bukan penulis artikel yang andal. Bahasa dan gagasan-gagasannya tidak ada yang luar biasa. Temanya sudah usang, gagasan dasarnya masih perlu diperdebatkan.
Tapi, menurut saya paling kurang ada empat hal yang membuat tulisan Jokowi itu menjadi menarik. Pertama, penulisnya adalah seorang calon presiden. Kedua, tulisan itu diawali dengan sebuah kejujuran: “Saya bukan ahli politik atau pembangunan.”
Ketiga, lanjutan kalimat tersebut justru membut tulisan ini memiliki bobotnya tersendiri: “Untuk itu pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun sebagai Gubernur DKI Jakarta.” Artinya, gagasan melakukan revolusi mental diperolehnya dari refleksi pengalaman sebagai Wali Kota dan Gubernur.
Keempat, tulisan Jokowi ini dengan cepat segera menyebar melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter, jadi bahan diskusi, debat dan bahkan bahan olok-olokan. Jokowi hadir di era ketika pertukaran informasi, gagasan dan kritik terjadi secara mudah dan massif. Dan, Jokowi berani secara elegan masuk ke wilayah itu.
Revolusi Mental
Jokowi lewat tulisannya itu melihat ada hal yang kontradiktif di Indonesia sekarang ini. Di satu pihak disebut-sebut ekonomi dan politik berkembang bagus, namun di sisi lain masyarakat sedang ‘galau.’ Demostrasi dan protes di ruang publik atau media sosial terjadi di mana-mana.
Jokowi menawarkan gagasan revolusi mentalnya itu menjadi sebuah “gerakan nasional”. Gerakan ini fokus pada perubahan radikal paradigma, mental dan budaya politik, terutama di kalangan pemimpin dan didukung oleh rakyat kebanyakan. Bagi Jokowi, reformasi hanya sampai pada perubahan institusional.
Namun melakukan gerakan itu tidak mudah. Mental korup misalnya, di kalangan elite tertentu sepertinya sudah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Bagaimana mengubah mental orang yang menganggap apa yang dibuatnya, yang sebenarnya secara normatif salah, sebagai sesuatu yang lumrah?
Bagi Jokowi, bentuk revolusi mental itu adalah sebuah perubahan mendasar, yaitu berupa, “...menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.”
Jokowi sebenarnya sudah masuk di ranah kebudayaan. Di era orde lama dan orde baru, politik dan ekonomi menjadi panglima. Stabilitas politik dan sosial tujuannya untuk kemajuan ekonomi, sebaliknya demikian. Rakyat dikontrol secara politis untuk keuntungan ekonomis segelintir orang.
Namun, revolusi mental ala Jokowi ini memberi perhatian pada persoalan manusianya. Kalau mental pemimpin atau pelaku politiknya baik, maka dengan otomatis sistem dan kelembagaannya akan menjadi baik. Kira-kira demikian logika yang mau dibangun Jokowi. Di sini dibutuhkan peran besar lembaga pendidikan, keagamaan, dan budaya dari masing-masing lokalitas. Yaitu, dukungan moril, spiritual dan intelektual.
Gaya khas Jokowi yang tidak kaku, gemar melakukan blusukan, tampil apa adanya, sepertinya memberi harapan: Indonesia masih bisa dibenahi. Jokowi bukan akademisi yang pinter beretorika, bukan agawaman yang sok suci, bukan politisi dua orde yang jago bermain politik dagang sapi.
Dia orang biasa. Pun, seandainya ia menjadi presiden nanti, saya tidak yakin ia akan mampu menuntaskan semua persoalan negara ini. Tapi Jokowi disukai oleh banyak orang karena dia orang biasa, dari rakyat kebanyakan yang bisa “menggugat” politik Indonesia yang lama dimainkan oleh orang-orang “luar biasa”.
Dan, kalau memang nanti dia tidak terpilih sebagai presiden, rakyat kebanyakan mungkin tetap akan berbangga diri, “ada orang dari kalangan kita” yang biasa menjadi Calon Presiden. Dengannya, revolusi mental akan terus berjalan.
Penulis adalah dosen di Fakultas Teologi UKI Tomohon
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...